Rabu, 15 Mei 2019

Meniadakan "Time and Space" dalam Keluarga Rakhmad


Dewasa ini banyak orang yang memiliki semangat dalam menjalankan ajaran agama. Terutama dalam keluarga Rakhmad yang benar-benar mengamalkan hadis Nabi dalam kehidupannya. Hal ini berlangsung dalam rutinitas sehari-hari. Sehingga segala aspek dalam tingkah laku keluarga Rakhmad bersumber dari hadis Nabi. Beberapa pondasi yang erat dengan keluarga ini yaitu adalah dari cara ia memelihara jenggot yang melekat pada dagunya. Berdasarkan hadis Nabi menegaskan bahwa “beliau memerintahkan untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot”. Atas dasar ini, Rakhmad memanjangkan jenggot serta memeliharanya. Disini terlihat jelas bahwa Rakhmad sangat memperhatikan anjuran yang disabdakan oleh Nabi dan mencoba mempraktekkannya dalam dirinya sendiri. Ia juga mempratekkan memakai celana atas mata kaki. Hal ini merujuk pada hadis Nabi “ Allah tidak akan melihat orang yang memanjangkan pakaiannya karena sombong.” Konotasi sombong menurut Rakhmad adalah celana yang dibawah mata kaki.
 Pandangannya yang tekstual terhadap hadis Nabi akan membawa Rakhmad pada pemahaman bahwa ia akan menempatkan hadis dalam kehidupannya secara penuh dan bergantung pada matan hadis Nabi tanpa kecuali. Hal ini tentu akan menjadikan keluarga Rakhmad sebagai orang yang berusaha untuk hidup dengan hadis. tentu mereka bercita-cita untuk menginternalisasikan teks-teks hadis sehingga menempatkan posisi mereka dalam apa-apa yang tertulis dalam hadis. padahal jika melihat bagaimana teks masa lalu itu hadir dimasa kini dengan kultur yang berbeda dan dengan rentang waktu yang panjang pasti akan memiliki perbedaan yang signifikan.
Dengan rentang waktu sejarah yang mana hadis telah dipraktikkan oleh sahabat dan kemudian dilanjutkan dengan model praktik masa kini, tentu mengalami perbedaan. Menurut Anthony Giddens, mengenai hal tersebut bahwa ia mengindentifikasi dengan teori time and space. Teori ini  menegaskan bahwa ruang dan waktu merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan bahwa ia mereproduksi praktik sosial, hal ini karena  didasarkan pada pace to pace yang mengandaikan kehadiran para aktor dalam ruang tertentu. Gidden kemudian menghubungkan relasi ruang dan praktik sosial. Menurutnya, sebuah praktik sosial tertentu selalu membutuhkan ruang dan waktu dalam dimensi yang terikat. Ruang dan waktu inilah yang membedakan praktik sosial yang satu dengan praktik sosial yang lain.
Keluarga Rakhmad dengan aktor yang berbeda dan ruang yang berbeda pula tentu akan kesulitan untuk mengaplikasikan hadis Nabi. Hal ini karena adanya renggang waktu yang cukup jauh antara hadirnya hadis dan hadis yang kita terima sekarang. Sungguh sangat sulit jika untuk memposisikan praktik hadis dulu dan hadis yang sekarang. Disadari bahwa hadis memang secara khusus dibangun dengan asas normatif yang berisi perintah-perintah namun perintah yang demikian tidak terlepas dari moral dan etika. Implementasi dari moral-etik ini dapat dilihat dari pranata sosial dalam suatu masyarakat. Apa yang dilakukan keluarga Rakhmad dalam mempratekkan hadis dengan semangat keagamaan telah membawa keluarga ini menjadi keluarga yang beridentitaskan agama yang kuat. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang mana kadang tidak sesuai dengan masyarakat setempat.

Keluarga Rakhmad ini merupakan keluarga yang hidup dalam ruang-ruang teks dan menjadikan hadis sebagai identitas yang melekat pada diri keluarga in. Tentu saja apa yang ditunjukkan keluarga Rakhmad adalah upaya untuk menjadikan hadis sebagai jalan hidup dan ditradisikan  dan dipelajari dalam sehari-hari. Sekilas apa yang dilakukan oleh keluarga Rakhmad ini adalah live by hadis. Akan tetapi keluarga Rakhmad telah melupakan tatanan sosial. Mereka lebih menjadikan hadis sebagai kegiatan sehari-hati tidak lebih penting dari anggapan sebagian kelompok yang menganngap suatu kewajiban. Sikap yang demikian melahirkan tantangan tersendiri bagi integrasi umat Islam dewasa ini. Beberapa kelompok menganggap hadis dirawat dalam praktik yang teratur sehingga secara mutlak meskipun zaman telah berubah. Kelompok ini sering mengukuhkan  interpretasinya  terhadap anjuran hadis dengan berkiblat kepada al-Qur’an. Hal ini tergambar pada pencarian dalil apakah praktik tersebut bersumber dari hadis lalu mencari kekuatan dalam al-Qur’an atau terdapat pada al-Qur’an lalu diperkuat dengan hadis Nabi. Sehingga ada perbedaan yang signifikan dalam memaknai makna living hadis. 
*Mahasiswi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Semester VI

Rabu, 01 Mei 2019

Ulama Hadis Pinggiran dalam Sejarah Sosial

Di era modern, pada masa krusial sejarah Islam, dimana masyarakat muslim berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang masa lalu Islam agar mendapat petunjuk  dan dukungan untuk masa depan. Namun, pada saat yang sama, sarjana non muslim juga berusaha menguji sejarah yang sama. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa mereka melihat Islam sebagai komunitas global yang dinamis. Dampak dari asumsi ini secara tidak langsung menafikan sejarah lokal yang berbeda-beda. Bahkan mereka lebih terfokus kepada ranah politik yang sering dikatakan oleh sejarah Islam.
Permerhati sejarah Richard Bulliet melalui karyanya The View from  The Edge melihat hadis dalam perspektif sosial yang mana yang ia pelajari dari suatu komunitas masyarakat lokal “Jurjan” pada abad ke 2-3 Hijriyah. Masyarakat Jurjan bukan sepenuhnya non-Arab namun mereka tidak pernah mengalami sendiri dinamika dan emosi yang mengiringi masyarakat Mekkah dan Madinah. Mereka memiliki keyakinan dan budaya saat Islam datang pada ruang lingkup  sosial mereka sendiri.  Sehingga mereka mempelajari Islam setelah mereka masuk Islam dengan pemahaman mereka sendiri.
Masyarakat Jurjan adalah salah satu masyarakat yang hampir tidak disebutkan dalam sejarah Islam. Jurjan sama sekali tidak diperhitungkan dalam narasi sejarah Islam global. Hal ini dalam pandangan Bulliet bahwa adanya peberpihakan dalam perspektif sejarah sosial yang hanya menarasikan Islam dalam aspek pusat dan bahkan aspek politik yang berkembang dan meniadakan sejarah Islam dalam area masyarakat pinggiran ((Perepherial areas). Bulliet mencoba untuk mengulas otoritas hadis yang diperankan oleh tokoh lokal yang juga ikut mempengaruhi dinamika kesejarahan hadis. Pada kenyataannnya, masyarakat pinggiran juga memiliki kontribusi yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka membangun perspektif mereka terhadap kajian Hadis yang tidak secara langsung bersinggungan dengan daerah-daerah yang menjadi center dalam kajian Hadis
Adapun metode yang ditawarkan oleh Richart Bulliet berporos pada aspek empirikal dan invertigatif terhadap sumber manuskrip. Dalam memulai risetnya, Bulliet memulai invetigasi dari individu atau kelompok individu dari suatu komunitas kecil. Dengan ini, para peneliti akan  melihat beragam dan level bahasa yang berbeda-beda. Ada tiga aspek yang Bulliet rumuskan  yang berpengaruh dalam membentuk otoritas keulamaan dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Bulliet menjelaskan dinamika transmisi hadis keluarga keturunan Arab (syariif sayyid) yakni keturnan Abu Bakr yang memberi pengaruh besar terhadap masyarakat Jurjan. Aspek pertama, keseriusan  keluarga dalam mendidik anak dan keturunannya dalam belajar hadis terutama  pada generasi laki-laki. Keseriusan ini akhirnya menjadikan kelaurga sebagai ulama hadis yang disegani oleh masyarakat Jurjan. Semua keturunannya adalah ulama hadis bahkan dari mereka memiliki khalaqah tersendiri dalam pengajian di Mesjid. Bulliet melihat ini merupakan disiplin keras dalam transmisi  pengetahuan. Aspek kedua, pembelajaran menurut Bulliet bukan aspek satu-satunya yang membentuk keulamaan keluarga al-Isma’ili. Hal ini terbukti dengan adanya yang bernama Muhammad al-Jaulaki ulama yang kurang tersohor dan tidak memiliki cukup pengaruh. Yang membuat bertahan adalah karena kebesaran nama keluarga. Pada akhirnya faktor kekuasaan  merupakan aspek yang tidak boleh diabaikan. Karena ia memiliki peranan penting dalam perkembangan sejarah. Aspek ketiga, faktor ekonomi (money). Mengenai pekerjaan masyarakat Jurjan mayoritas adalah pedagang, pekerja dan pengrajin. Mertua Abu Bakr adalah seorang pedangan sukses dan petani kaya raya yang profesional.  Dapat disimpulkan pada era awal-awal transmisi hadis (sebelum masa tadwin kitab) pembelajaran hadis bersifat personal. Tetapi lebih pada peran penting keluarga. Sehingga membentuk keluarga. Peran mereka sebagai supporter  dalam mendukung mazhab yang masyhur. Menurut perspektif sejarah sosial pinggiran, sejarah masyarakat Jurjan adalah bentuk representasi dari dinamika sosial masyarakat muslim lokal. Sebuah narasi sejarah yang sedang dihadapkan oleh kaum kosmopolit Sufi. Masyarakat Jurjan bicara dari sudut pandang pinggiran itu mengungkap tentang cerita kapan, bagaimana dan mengapa kelompok kecil  bahkan ditakdirkan  menjad bagian dari seluruh cerita kebesaran Islam. Cara pandang masyarakat pinggiran  tidak melihat sudut pandang geografis dan ranah politik. Namun masyarakat pinggiran memulainya dari kapan atau dimanapun masyarakat secara dinamis berusaha menentukan dirinya untuk kemudian mendedikasikan dirinya terhadap Islam.

*Mahasiswi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga
Hayatun Thaibah semester VI

Kamis, 28 Maret 2019

Spirit Jama’ah Tabligh (Tabligh;Menyampaikan)

Dewasa ini gerakan pembaruan Islam telah banyak dikembangkan oleh berbagai kalangan. Spirit keagamaan yang tinggi membuat seseorang hidup dalam kelompok-kelompok sebagai ruang untuk mereka mengekspresikan agama yang mereka pegang. Salah satu kelompok yang memiliki semangat tinggi dalam Islam yaitu gerakan pembaruan spiritual bagian India Utara yang dikenal sebagai Jama’ah Tabligh (JT). Tujuan gerakan ini adalah tabligh (dakwah). Hal yang menarik dari kelompok ini adalah semangat menyebarkan agama Islam. Mereka sengaja melakukan I’tikaf selama berbulan-bulan guna mendakwahkan agama Islam di tempat yang sulit dijangkau. Mereka mengorbakan waktu dan tenaga untuk misi dakwah yang mereka emban.
Jama’ah Tabligh sendiri memiliki landasan melalui teks-teks yang dipublikasikan dalam kumpulan jilid-jilid yang dikenal sebagai Tablighi nishab (Kurikulum Jama’ah Tabligh). Atau Fadhailul a’mal (keutamaan amal). Teks-teks yang dikumpulkan oleh Maulana Zakariyya sebagian besar adalah permintaan dari pendiri JT yakni Maulana Ilyas Kandhalawi. Dengan adanya pedoman dalam dakwah, para pengikut JT akan dengan mudah mengakses konten-konten hadis yang ingin di sebarluaskan kepada umat Islam yang berada dipelosok baik di Indonesia ataupun luar negeri.
Pembahasan dalam JT pasti merujuk kepada fadhailul a’mal atau keutamaan dalam beribadah terutama terhadap ritual kegamaan. Ritual disini dipahami secara universal atau sebagai bentuk pengabdian terhadap Tuhan secara mutlak. Namun salah satu doktrin yang kuat dalam gerakan JT adalah penyampaian petunjuk Islam kepada siapapun. Doktrin tabligh sebagai kewajiban ibadah paling dasar diantara yang lain. jiwa mereka harus diliputi dengan semangat dakwah yang berapi-api guna menyampaikan agama Allah.
Menurut mereka, zaman sekarang harus melihat kembali keadaan pada masa Rasulullah. Melihat bagaimana besarnya keimanan dan ketaatan yang dilakukan sahabat serta orang terdahulu. Pada Masa Nabi, sahabat sangat antusias dalam menjalankan agama Islam, jihad mereka diatas rata-rata. Lantas bagaimana pada masa sekarang yang tidak ada persamaan sedikitpun dengan masa nabi. Keresahan dan kekhawatiran yang menyelimuti hati para JT yang menyebabkan mereka berjuang untuk mencoba mengembalikan masa kini kepada keindahan masa Nabi. Hal yang mereka lakukan adalah meniru tingkah laku, akhlak serta tradisi-tradisi yang pernah dan dilakukan pada zaman nabi dan sahabat. Melalui hikayat ash-shahabah yang menjadi modal dasar pembentukkan karakter Islam pada jiwa-jiwa umat.
Hikayat ash-Shahabah berisi pola pendidikan dua jalur perilaku, satu jalur yang melukiskan masa lalu yang terkandung dalam tradisi masa Nabi dan lainnya berisi tentang memamparkan perilaku masa kini yang jauh berbeda bahkan bertolak belakang yang ditawarkan oleh jalur pertama. Berikut kutipan isi teks hikayat ash-shahabah:
“manusia-manusia ini (sahabat) menghadapi rintangan dan hambatan. Dewasa ini kita menyebut-nyebut nama mereka dan mengatakan bahwa kita meneladani mereka, sekaligus berfikir bahwa kita menyaksikan mimpi-mimpi kemajuan. manusia-manusia agung seperti mereka melakukan pengorbanan berat semacam itu, sedangkan kita, apa yang kita perbuat untuk agama? Demi Islam, demi manhaj?. Kesuksesan selalu berbanding lurus dengan usaha kerja keras dan perjuangan. Kita adalah manusia yang menginginkan kemewahan dan kenyamanan dan kita menginginkan bekerjasama dengan orang-orang kafir demi mengejar hal-hal duniawi. Kemajuan Islam bergantung pada kita. Jadi bagaimana bisa terwujud? {seperti bunyi pepatah Persia} “aku takut, wahai pengelana, bahwa engkau tidak akan sampai ka’bah, jalan yang engkau lewati mengarah ke Turkestan.”
(edisi Malik, hlm. 23-24; edisi Faizi, hlm. 36)
Dalam kutipan teks tersebut menggambarkan bahwa orang yang hidup pada masa silam sangat sederhana dan bersahaja, bekerja dengan kedua tangan mereka, segala macam pengorbanaan untuk memenuhi perintah Tuhan dan menyebarluaskan keimanan. Mereka penuh gairah dan semangat dalam mencari ilmu pengetahuan yang didevinisikan hal-hal yang perlu dicatat serta diamalkan. Mereka tidak berebut tahta dan kekayaan. Mereka tidak mendevinisikan kenaikan derajat sebagai barang-barang duniawi seperti yang di pahami oleh dewasa ini. Dapat di simpulkan bahwa JT sangat menginginkan kehidupan pada masa nabi yang mengandung spirit tak pernah luntur sehi

Selasa, 12 Maret 2019

Peran Agen Dalam Membawa teks Hadis


Hadis tidak serta merta hadir begitu saja. Jika dilihat dari jalur periwayatan, hadis telah mengalami proses panjang dan melibatkan banyak orang. Terdapat banyak orang yang berkontribusi dalam penyampaian hadis. Oleh karena itu, dengan proses yang panjang, hadis harus dilakukan pengecekkan secara lebih mendetail guna menghindari dari ketercacatan dan kepalsuan dari orang yang menyampaikan hadis dan untuk menjaga keorisinalil sebuah hadis.
Setelah mengalami proses yang tidak singkat, hadis kini telah banyak dikumpulkan dan dibukukan oleh para ulama hadis klasik seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dalam kitab Shahih dan juga dalam sunad ulama yang lainnya. Pembukuan ini dilatarbelakangi karena kekhawatiran segenap ulama hadis terhadap hadis Nabi yang akan hilang dalam peradaban Islam. Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa hadis merupakan penjelas dari al-Qur’an dan menjadi pedoman kedua bagi umat Islam setelah al-Qur’an, tentu harus dijaga dan terus dipelajari sebagai bentuk espitemologi dalam ranah kajian hadis.
Masa kini, orang tidak lagi disibukkan dengan pengumpulan hadis karena hal tersebut telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Namun, yang menjadi perdebatan dan dilemanya adalah bagaimana masyarakat memaknai hadis-hadis yang telah tertulis di kitab-kitab klasik. Dalam living hadis terdapat teori resepsi. Teori resepsi ini adalah bentuk pemaknaan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap teks. Dimana masyarakat mencoba meresapi makna yang terkandung dalam hadis Nabi sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadap hadis Nabi dalam kehidupan mereka. Dalam bentuk resepsi tidak serta merta dapat dikaitkan dengan dalam praktek living hadis, karena teks tidak muncul dalam ritual dan kebiasaan masyarakat. Pada umumnya, resepsi bermula dari resepsi eksegesis (penafsiran) dari tokoh-tokoh sentral atau petinggi lokal seperti kyai, ustadz dan lainnya lalu baru berpindah kepada resepsi masyarakat dalam mempratekkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari.
Dalam lingkup sejarah, penerimaan Islam di Indonesia terjalin dan erat kaitannya dengan lokalitas dan budaya daerah melalui peran-peran sentral dari warisan nenek moyang, pemahaman agama dalam membentuk struktur berpikir masyarakat. Untuk itu, keberadaan agen sangatlah penting. Kehadirannya memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukkan masyarakat. Terkhusus dalam peran agen dalam membawa teks hadis, hal ini akan mempengaruhi bagaimana masyarakat memaknai hadis nabi. Apakah secara literal ataukah kontekstual. Keberadaan agen dalam konteks Indonesia sangatlah banyak sehingga pengaruh setiap agen tentu akan berbeda dalam setiap daerah. Terlebih lagi dengan perbedaan adat dan istiadat, suku dan budaya yang dimiliki daerah tertentu yang ikut memberikan pengaruh yang sangat berbeda dalam pemaknaan hadis. Meski demikian, peran agen tetaplah lebih utama karena ia seorang pembawa dan penyampai sebuah teks. Otoritas agen dirasa sangat berpengaruh dalam masyarakat tertentu.
Secara tegas memang model resepsi dalam hadis tidak terjadi. Tetapi dalam resepsi fungsional hadis memiliki peran utama yakni terbagi menjadi dua, fungsi informatif dan fungsi performatif. Fungsi informatif dapat dipahami sebagai bentuk penafsiran atau interpretasi dalam hal yang tersurat dalam teks. Seperti praktik Shalat Hajat, Puasa Daud, Puasa Rajab dan lainnya yang berangkat dari teks Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi informatif dari hadis karena diawali dari proses interpretif. Sedangkan fungsi performatif adalah yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Seperti praktik majelis Bukhoren dan tradisi Pembacaan kitab al mukhtasar lil imam bukhari bulan rajab. Ini merupakan bentuk fungsi performatif dari hadis. Hadis diuraikan dengan dua aspek yakni mengangungkan teks hadis juga menempatkan dalam bentuk oral yang berarti ada aspek resepsi estetis di dalam praktik. Fungsi informatif dan performatif menurut Barbara Metcalf merupakan usaha masyarakat muslim untuk live by dengan cara menginternalisasikan teks tertulis. Masyarakat sangat mementingkan keberadaan teks dalam ruang lingkup praktik sehingga masyarakat memahami hadis dalam kerangka ritual, perayaan ataupun praktik keseharian. Namun demikian, dalam prakteknya tidak pernah menafikan teks hadis, hanya saja melalui fungsi informatif dan performatif keberadaan teks tidak selalu berupa written tetapi dalam dua apek yakni bersifat interpretif dan juga bersifat performatif.


*Hayatun Thaibah Semester VI
 Mahasiswi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga
 

Kamis, 21 Februari 2019

Otoritas Teks dalam Pandangan Jama'ah Tabligh


Teks merupakan bentuk sakral dari sebuah kitab. Teks menjadi peranan paling penting karena didalamnya memuat berbagai macam ajaran yang dapat diterapkan oleh manusia. Peran teks dalam praktik keagamaan tidak terbatas sebagai symbol keagamaan akan tetapi juga sebagai representasi dari otoritas yang menghubungkan dari komunitas muslim yang satu dengan yang lain.
Menurut Barbara Metcalf dalam penelitiannya terhadap jaringan Jamaah Tablighi yang berpusat dipakistan membuktikan bahwa terdapat signifikansi teks bagi komunitas JT dan komunitas muslim. Menurut Mercalf, hadis dan al-Qur’an yang tertuang di dalam nash berfungsi sebagai framework bagi kritik dan auto-kritik terhadap budaya yang kurang sesuai dengan tradisi Islam. Penyampaian teks dalam komunitas tersebut secara kontinyu di suatu komunitas berfungsi untuk menjawab semua persoalan yang ada di masyarakat yang menjadi objek dari teks. Teks mewakili pendapat pendapat tertentu dalam melahirkan suatu tradisi tertentu dan sekaligus bereaksi dalam tradisi yang lain. Teks sangat erat dan memiliki kekuatan dalam membentuk jati diri dari komunitas JT. Hal ini dengan berbagai karakterk JT yang digambarkan oleh Metcalf yaitu: (1) kitab-kitab berfungsi menegaskan jati diri komunitas JT dalam menolak modernisme dan mengajak takut kepada Allah. (2) menunjukkan komunitas JT yang selalu mencintai al-Qur’an serta aspek lain yang diperankan kutub dalam membentuk komunitas JT di kehidupan sehari-hari. Aspek tersebut dalam diambil kesimpulan bahwa komunitas muslim, pada ustadz, kyai selalu menyandarkan  praktik beragama dengan teks tertentu dari nash baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi dan juga dalam kitab syarah.
Dengan penelitian terhadap komunitas JT tersebut dapat dijelaskan bahwa secara kultural, otoritas teks bukan semata-mata pada aspek dari teks itu sendiri melaikan juga pada adanya praktik yang didasari dengan motivasi akan ridha Allah swt. Di dalam teks selain memuat mind juga memuat practices sebagai bagian penting dalam membentuk kehidupan komunitas.
Untuk itu perlu adanya studi untuk menjembatani antara teks dan praktik keagamaan. Menurut Asad fungsi studi interdisipliner antara teks dengan studi sosial bertujuan untuk mendokumentasi adaptasi dan produksi budaya dimana suatu teks berperan penting bagi kehidupan sosial budaya suatu komunitas muslim. bahkan Barbara juga menambahkan bahwa cara memproduksi budaya yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh dengan teks sebagai landasan utama bagi kehidupan mereka sebagai sebuah living. Bukan karena teks yang berfungsi membangun mind tetapi juga otoritas teks itu turut dibantu oleh peran-peran para religious leader dalam mengkondisikan suatu komunitas muslim.
secara lebih konstruktif, Barbara Metcalf menjelaskan fase-fase motivation dan mood yang menghubungkan teks dengan praktik sebagai berikut:
Pada setiap partisipan dari suatu komunitas muslim merasa terpanggil, merasa dekat kepada tradisi otentik. Teks ddigunakan ungkapan diksi, tertulis dan tersuarakan melalui aspek drama sehingga secara intrisik dapat mentautkan perasaan dan emosi.
Teks itu didalamn prakteknya telah membentuk set of mind dan set of conduct yang membentuk tidak saja kehidupan keseharian para partisipan tetapi juga membentuk konsep dari suatu komunitas muslim.
Ada proses pemilihan di dalam set of confuct yang dilakukan oleh masing-masing partisipan dalam membentuk konsep dan look dari dirinya di satu sisi dan pada sisi yang lain melakukan kompetisi budaya terhadap lingkungan sekitarnya dengan cara mempertautkan diri kepada keagungan masa lalu.
Dari seperangkat mode of conduct itu suatu komunitas muslim dapat mengidentifikasi kelompok sosial ke dalam kelompok grup mereka dan begitu pula sebaliknya, memberi batasan grup luar (out group identification).
Dengan demikian, status teks sangatlah tergantung kepada (dependent) pada ketepatan produksi di dalam praktiknya. Kedua (teks dan praktik) tidak pernah terhubung scara temporer tetapi bagi komunitas muslim, ia terhubung secara intrinsik. Keduanya saling memberi makna: teks memperlihatkan diri sebagai bentuk konseptual yang obyektif sedangkan praktik berperan menunjukkan realitas sosial dan psikologis. Konseptual objektif menunjukkan dirinya melalui realitas sosio-prikologis dan yang terakhir membentuk dirinya melalui model dari teks tersebut.

*Mahasiswi Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga
Hayatun Thaibah


Rabu, 13 Februari 2019

Living Hadis dalam Kehidupan Masyarakat Setempat

Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Dalam setiap penjuru sudah menjadi barang pasti masing-masing memiliki kekhasannya dalam mengekspresikan hidupnya. Dalam bidang keagamaan tentu masyarakat berbeda dalam meresponnya sebagaimana yang kerap kali terlihat dari bagaimana mereka melakukan proses keagamaan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara masyarakat yang satu dengan lain hal ini karena berbedanya tanggapan yang diberikan masyarakat terhadap suatu proses keagamaan.
Term living hadis sudah dipopulerkan oleh  tokoh seperti Barbara Metcalf dan Imam Malik. Namun dalam kalangan dosen Ilmu hadis pertama kali dicetus oleh Saifuddin Zuhri. Secara detail kemunculan term living hadis dapat dipetakan menjadi empat bagian. Pertama, pada masa rasulullah memang sudah ada living sunnah yang dilakukan oleh para sahabat namun istilah tersebut belum diverbalkan. Kedua, kajian hadis bertumpu pada teks baik sanad maupun matan kemudian dalam living hadis beralih ke praktek (konteks masyarakat). Sehingga praktek kemasyarakatan berasal dari teks. Ketiga,  dalam kajian living hadis tidak terlalu memperhatikan adanya standar kualitas baik dalam sanad ataupun matan karena ia sudah melekat di kehidupan masyarakat. Keempat, membuat ranah baru dalam kajian hadis. Titik fokus kajian living hadis adalah pada suatu bentuk kajian atas praktek, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup dimasyarakat yang memiliki landasan hadis Nabi. Dari sini muncul berbagai bentuk perayaan berdasarkan hadis nabi dan mengakar dimasyarakat secara turun temurun.
Dalam kajian hadis terdapat kata resepsi. Resepsi berasal dari kata latin “recipere” yang berarti penerimaan atau penyambutan. resepsi merupakan aliran yang bertitik tolak kepada pembaca yang memberikan tanggapan terhadap teks. Dengan kata lain resepsi juga diartikan sebagai respon masyarakat terdapat hadirnya teks hadis nabi. Proses resepsi jika dikaitkan dengan living hadis tentu berbeda jauh praktek saat ini dengan masa lampau. Sehingga menimbulkan perbedaan antara resepsi sahabat dengan manusia masa kini. Dalam praktek tersebut kadang kala seorang informan (masyarakat) tidak bisa menyebutkan dalil dalam melaksanakan suatu praktek namun teks tersebut pernah di dengar. Untuk lebih baiknya dalam kajian living hadis harus memiliki teks yang dipegangi sebagai dugaan bahwa bersumber dari nabi.
Karena living hadis adalah bentuk resepsi maka perlu adanya kerangka teori dalam melihat perilaku manusia. Adapun pendekataan dalam kajian living hadis, 1. Fenomenologi. Menurut Edmund husserl phenomenon bermakna sesuatu yang tampak (terlihat) oleh mata. Peneliti mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai  pengalaman hidup mereka mengenai konsep atau fenomena. Adapun tujuan fenomenologi menurut Cresswell adalah mereduksi pengalaman-pengalaman individu pada sebuah fenomena menjadi sebuah deskripsi tentang esensi atau intisari universal. 2. Naratif Studies menurut Czarniazska bahwa riset naratif adalah tipe desain kualitatif yang spesifik yang narasinya dipahami sebagai teks yang dituturkan atau dituliskan  dengan menceritakan  tentang peristiwa atau aksi yang terhubung secara kronologis. Riset naratif dimulai dengan pengalaman-pengalaman yang diekspresikan dalam cerita dari individu. 3. Etnografi adalah penelitian mengenai kebudayaan suatu komunitas masyarakat. Peneliti mendeskripsikan  dan menafsirkan pola-pola yang sama dari nilai-nilai, perilaku, keyakinan, dan bahasa dari sebuah kelompok. Ini merupakan sebuah cara untuk mempelajari sebuah kelompok. Etnografi membutuhkan pengamatan-pengamatan yang luas terhadap kelompok  tertentu. Paling sering melalui pengamat partisipan. 4. Sosiologi pengetahuan merupakan teori social Berger dan Luckman. Dalam living hadis dipahami sebagai proses perwujudan hadis dalam kehidupan nyata baik secara sadar maupun tidak sadar. Proses ini merupakan dialektika antara individu dan realitas masyarakat bisa menjadi pijakan untuk melihat bagaimana seorang individu membentuk dan dibentuk oleh hadis sebagai fenomena sehari-hari.5. Sejarah sosial merujuk kepada masalah-masalah yang berhubungan dengan perubahan sosial, perubahan tata  nilai, agama dan tradisi kebudayaan yang ikut berpengaruh terhadap timbulnya masalah sosial.
Dapat disimpulkan bahwa living hadis merupakan suatu respon atau tanggapan yang diberikan oleh masyarakat melalui praktik keagamaan yang mereka lakukan dengan terikat oleh budaya dan adat istiadat setempat yang berkembangan di ruang lingkup kehidupan mereka.


Hayatun Thaibah
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sunan Kalijaga



Kamis, 04 Oktober 2018

HADIS SEBAGAI SUMBER AKHLAK DAN TASAWUF


AKHLAK DAN TASAWUF
HADIST SEBAGAI SUMBER AKHLAK DAN TASAWUF
Dosen Pengampuh:
Dr. Syaifannur, M. Ag.
Description: G:\UIN Sunan Kalijaga.jpg
Oleh :
Fina fatmah
Isna fitrianingsih
Najiha Sabrina
Rike luluk khoiriah
Yeni angelia

JURUSAN ILMU HADIST
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA
2016
A.    Pendahuluan      
Al-Quran merupakan sumber utama dalam tasawuf, firman-firman Allah yang mengajarkan manusia untuk melakukan kebaikan dan melarang manusia untuk mendekati kemunkaran. Sedangkan sumber kedua dalam tasawuf adalah hadist nabi Muhammad saw., baik dari ucapan maupun perbuatan yang menerangkan ajaran-ajaran moral, kehidupan beragam manusia dan lingkungan yang telah dipraktekkan oleh Nabi SAW dalm kehidupan beliau atau rasul-rasul sebelum beliau, hanya saja ilmu tasawuf itu muncul setelah beliau wafat.
            Banyak hadist yang menceritakan tentang akhlak terpuji, yakni perbuatan nabi Muhammad saw. yang patut di contoh. Sayyidah  Aisyah semoga Allah meridoi beliau mengatakan, bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Quran. Maka dari itu, para sufi menjadikan perkataan dan perbuatan nabi itu sebagai sumber kedua.
            Dalam makalah ini, penulis akan membahas hadist-hadist yang berkenaan dengan akhlak terpuji dan akhlak tercela dalam perkataan maupun perbuatan Rasulullah.
A.    Pembahasan
Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam tasawuf sedangkan sumber yang kedua ialah hadis nabi saw., terutama Hadis Qudsi. Menurut Prof. Hamka, Hadis Qudsi yang dijadikan pegangan bagi para sufi adalah: pertama,  Hadis Qudsi yang berbunyi:
“Adalah Aku suatu pendeharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya diketahui siapa aku, maka Ku-jadikan makhluk-Ku, maka dengan Akulah mereka mengenal Aku.”
Kemudian, kaum sufi berkata bahwa hidup dan alam dipenuhi oleh rahasia-rahasia tersembunyi dan tertutup oleh dinding hawa nafsu manusia sendiri. Tetapi, dinding itu dapat terbuka apabila manusia mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menempuh jalan yang disyariatkan, jalan itu dinamakan dengan Tariqah.
Kedua, Hadis Qudsi dijadikan untuk menegakkan tariqah dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub).
Nabi saw bersabda:
“Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal-amal nawafil, sehingga cintalah Aku padanya. Maka bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku mendengarkannya, yang dengan dia mereka melihat. Jadilah Aku lidahnya, yang dengan dia mereka berkata-kata, jadilah Aku tangannya, yang dengan dia mereka memukul. Jadilah Aku kakinya, yang dengan dia mereka berjalan. Dengan Aku mereka mendengar, dengan Aku mereka berakal, dengan Aku mereka memukul dan dengan Aku mereka berjalan..”
Hadis inilah yang menimbulkan zawq (rasa), wajd (kerinduan) dalam hati pengikut sufi sehingga terdapatlah fana’, artinya lenyap kedalam tuhan. Kesatuan Ma’bud dan A’bid (yang menghamba kepada yang diperhamba).
Ketiga, Hadis Qudsi yang berbunyi: “من عرف نفسه عرف ربه”, walaupun sanad hadis ini lemah, jika rasa yang terkandung didalamnya sesuai maka tidak ada masalah dalam pemakaiannya, dan para sufi tidak melepaskan hadis ini dengan alasan yang demikian.
Keempat, “Musuhmu yang paling besar adalah dirimu sendiri, yang ada dalam badanmu”. Bersandarkan pada hadis ini, para sufi bermujahadah batin, riyadah (latihan jiwa), muhasabah (menghitung-hitung lomba laba dan rugi hidup).
Kelima, hadis yang menjadi suluh hidup dan menjadi kebanggaan. Para sufi merasa bahagia serta berhusnudzon bahwa hadis itu ditujukan kepada mereka.
“Sesungguhnya di dalam hamba Allah yang sebanyak itu ada beberapa manusia, mereka bukan nabi-nabi dan bukan orang-orang syahid. Tetapi nabi-nabi dan syahid sendiri merasa kagum di hari kiamat melihat tempat mereka disisi Allah”......
Setelah itu nabi pernah membaca ayat,”Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada pula duka cita”. Mereka baik sangka bahwa hadis itu menuju padanya.
Kaum sufi dan penganjur kerohanian menyandarkan dalil pendiriannya pada al-Qur’an dan hadis nabi, perbuatan nabi dan pandangan hidup nabi serta praktik hidup dari sahabat-sahabat dan para ulama dalam Islam.[1]
            Berikut adalah ruang lingkup akhlak dalam tasawuf:
1.      Akhlak-Akhlak Terpuji
a)    Mencari ridha Allah:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه الا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها (اخرجه ابو داود).
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu dari sesuatu (yang seharusnya) untuk mencari ridha Allah, dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sedikit dari harta benda, maka ia tidak mendapatkan bau surga besok hari kiamat.[2]
b)      Keutamaan ikhlas mencari ilmu:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه الا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها (اخرجه ابو داود).
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang keluar dalam mencari ilmu, maka ia pada jalan Allah sehingga ia pulang. Abu isa berkata hadis ini hasan gharib dan sebagian mereka meriwayatkannya tetapi tidak di marfu’kan kepada Rasulullah SAW. (HR. At-Turmuzi)[3].
c)      Sabar
ان الصبر عند الصدمة الأولى(اخرجه البخاري عن انس)
Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama. (HR Bukhori dari Anas).[4]
d)   Taubat
التائب من الذنب كما لا ذنب له, و اذا أحب الله عبدا  لم يضره ذنب (اخرجه ابن ماجه, عن ابن مسعود)
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang tidak berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya. (HR. Ibnu Majah, dari Ibnu Mas’ud)[5]
e)      Zuhud
اذا رايتم الرجل قد اتى زهدا في الدنيا و منطقا فاقتربوا منه فانه يلقن الحكمةز (اخرجه ابونعيم البيهقي عن ابي خلاد)
Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia di bimbing oleh hikmah. (HR. Abu Khallad dan di-takhrij oleh Abu Nu’aim dan Baihaqi).[6]
f)       Qanaah
القناعة كنز لا ينفىز(اخرجه الطبرانيز عن جابر)                                     
Qanaah ( menerima pemberian Allah) adalah harta yang tidak pernah sirna (HR. Thabrani, dari jabir).[7]
g)      Tawakkal
باالسند المتصل الى الشىخ الجلىل ثقة الاسلام محمد بن يعقوب عن عدة من اصحابنا عن احمد بن محمد بن خالد عن غير واحد عن علي بن اسباط عن احمد بن عمر الحلال عن علي بن سويد عن ابي الحسان الاول (ع) قال : سالته عن قوله عز وجل : "ومن يتوكل على الله فهو حسبه" فقال : التوكل على الله درجات منها ان تتوكل على الله فى امورك كلها فما فعل بك كنت عنه راضياو تعلم انه لا ياءلوك خيرا و فضلا و تعلم ان الحكم فى ذالك لهو فتوكل على الله بتفويض ذالك اليه و ثق به فيها و في غيرها.                                  
Dengan sanad yang bersambung kepada Syaikh Muhammad Ibn Ya’qub (Al-Kulaini) dari sekelompok guru-guru kami, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari beberapa perawi, dari’Ali ibn Asasbath, dari Ahmad Ibn Umar Al-Hallal, diriwwayatkan bahwa Ali Ibnu Suwaid berkata, “Aku bertanya kepada Abu Al Hasan Al Awwal (Imamm Musa Al-Kazhim ) tentang firman Allah SWT, dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupinya (QS. Al-Thalaq (65): 3). Imam berkata, tawakkal kepada Allah memiliki beberapa tingkat. Salah satunya adalah engkau bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusanmu dan apapun yang dilakukan-Nya kepadamu engkau meridhainya, engkau mengetahui bahwa Dia tidak akan pernah berhenti memberikan kebaikan dan nikmat-Nya kepadamu dan engkau menyadari bahwa segala hukum atau perintah dalam semua itu adalah milik-Nya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dengan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, percayalah kepada-Nya dalam semua itu, dan hal lainnya[8].
h)      Syukur
بالسند المتصل الى حجة الفرقة و امامهم محمد بن يعقوب الكليني كرم الله وجههو عن حميد بن زيادو عن الحسن بن محمد بن سماعة عن وهيب بن حفصو عن ابى بصير, عن ابى جعفر عليه السلام قال : "كان رسول الله صلى الله عليه واله عند عاءشة ليلتها فقالت : يا رسول الله لمَ تُتْعبْ نفسَكو وقد غَفر اللهُ لك ما تَقَدَّم من ذنبك و ما تَاءخّر؟ فقال : يا عاءشة الا اكونُ عبدا شكورا؟ قال : وكان رسول الله صلى الله عليه واله يَقومُ على اطراف اصابع رجليه فانزل الله سبحانه و تعالى : طهز ما انزلنا اليك القرانَ لتشقى                     
Melalui sanadku yang bersambung sampai ke hujjah dan imam madzhab (syiah) Ibnu Ya’qub Al Kulaini (karrama Allahwajhahu)dari Humaid Ibnu Ziyad, dari Al Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Sama’ah, dari Wahaib Ibnu Hafsh, dari Abu Bashir, dari Abu Ja’far a.s. yang bersabda, ”Suatu malam Rasulullah SAW bersama dengan Aisyah. Aisyah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau bersusah diri padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu maupun yang kemudian?” Nabi SAW menjawab, “Wahai Aisyah, tak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” Imam a.s. menambahkan, “Rasulullah SAW biasa berdiri di ujung jari kakinya (jika sholat di malam hari), lalu Allah SWT menurunkan ayat: Thaa Haa. Kami tidak menurunkan AlQur’an atasmu untuk menyebabkan kesulitan.”[9]   
2.      Akhlak-akhlak tercela
a)      Dengki
ايّاكم والحسد, فانّ الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النّار الحطب.(اخرجه ابو داود)                  
Jauhilah hasad (dengki), karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. (H.R.  Abu Daud)[10]
b) Ujub
عن انس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو لم تكونوا تُذْنبون خَشيتُ عليكم اكثر من ذالك العجُب
Dari Anas (bin Malik) ra berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, “Seandainya kalian tidak mengerjakan dosa, aku khawatir kepada kalian yang lebih banyak dari hal itu yaitu ‘ujub.” (HR. Al-Uqaily, Ibnu ‘Adiy, dan al-Qudlo’iy. Berkata as-syaikh al albani: Hasan. Lihat shahih al jami’ ash shaghir: 5303 dan silsilah al hadis as shahihah: 658)[11] 
c) Mengikuti hawa nafsu
الكيّس من دان نفسه و و عمل لما بعد الموتو والعاجز من اتبع نفسه هواها وتمني على الله (رواه الترمذى) 
Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya, dan berbuat untuk persiapan kematian. Dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya danmenginginkan pahala dari Allah. (HR At Turmudzi)[12]
d) Riya’
و عن محمود بن لبيد رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم انّ اخْوَفَ ما اخاف عليكم
الشركُ الأصغار : الرّياءُ (اخرجه احمد بسند حسن)              
Dari Mahmud bin labid RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hal yang paling aku takuti menimpamu ialah syirik kecil, yaitu riya.” (HR Ahmad dengan sanad hasan)[13]
e) Tamak
روي الترمذيّ عن كعب بن مالك الأنصاريّ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ماذئبان جائعان أرسلا في غنم بأفسد لها من حرص المرء علي المال و الشراف لدينه
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ka’ab ibn Malik al-Anshari radhiaallhu anhu, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dikirimkan pada seekor kambing itu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agama.” (HR. al-Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan shahih)[14]
f) Sum’ah
حديث جندب قال: قال النبي ص.م.: من سمع سمع الله به, و من يرائ يرائ
الله به. (اخرجه البخاري في: (81) كتاب الرقاق (36) باب الرياء و السمعة)                                                              
Diriwiyatkan dari Jundab, ia berkata, Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang mendengarkan (amalnya) maka Allah pun akan mendengarkannya, dan barang siapa yang memperlihatkan (amalnya) maka Allah pun akan memperlihatnnya.” (Disebutkan oleh al-Bukhari pada kitab ke-81 Kitab Kelembutan Hati, bab ke-36 Bab Riya’ dan Sum’ah)[15]
g) Takabbur
عن قتاد وزاد فيه وإن الله أوحى إليّ أن تواضعوا حتى يفخر أحد على أحد ولا يبغي أحد على احد (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Qatadah dan menambah didalamnya,”Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada saya supaya kalian bertawadhu’ hingga idak ada seorangpun yang menganiaya orang lain dan tidak ada seorangpun yang menyombongkan diri atas orang lain.” (HR. Muslim)  [16]
h)      Cinta dunia
حدّثنا محمود بن غيلان, حدّثنا وكيع, حدّثنا سفيان, عن الأعمش, عن شمْر بن عَطيّةو عن المغيرة بن سعد بن الأحزامو عن ابيهو عن عبد الله بن مسعودو قال: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: لا تتّخذُ الضّيْعَةَ فترغبوا فى الدّنيا
Mahmud bin Ghailan  menceritaka kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Al A’masy, dari Syimr Bin ‘Athiyyah, dari Al Mughirah bin Sa’ad bin Al Akhram, dari bapaknya, dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian sibuk dengan kebun, karena akan menyebabkan kalian senang (cinta) kepada dunia.” (Shahih: Ash Shahihah (12))[17]
C. Kesimpulan
Hadist merupakan sumber kedua dalam tasawuf, ini dibuktikan banyaknya hadist-hadist nabi yang mengajarkan umatnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, untuk mencintaiNya dengan mengerjakan kebaiakan dan menjauhi laranganNya. Diantara amalan yang mendekatkan itu ialah :
·         Sabar
·         Zuhud
·         Tawakkal
·         Ikhlas
·         Ridho
·         Syukur
·         Taubat
·         Qona’ah

Sedangkan amalan yang menjauhkan ialah:

·         Hasad
·         Tamak
·         Riya’
·         Takabbur
·         Cinta dunia
·         Sum’ah
·         Mengikuti hawa nafsu
·         ujub

Demikian hadis-hadis Rasul sebagai bukti-bukti yang menguatkan keterangan bahwa tasawuf tumbuh dan berkembang sebelum dan sesudah masa Rasulullah.
Daftar Pustaka

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. Kumpulan Hadist Shahih Bukhari Muslim, terj. Arif Rahman Hakim. Solo: Insan Kamil, 2010.
Al Asqalany, Ibnu Hajar. Bulughul Marram, terj. Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin. Depok: Gema Insani, 2013.
Al Khomeini, Ayatullah Ruhullah Almusawi. 40 Hadis: Telaah Atas Hadis-Hadis Mistis, terj. Musa Kazhim. Bandung: Mizan Media Utama, 2004.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Tirmidzi, terj. Fachrurrazi. Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2011.
http://mimbarhadits.wordpress.com/2014/04/03.
Yusuf Nur, Edi.  Menggali Tasawuf Yang Hakiki. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga, 2014.



[1] Edi Yusuf Nur, Menggali Tasawuf Yang Hakiki, (Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga: 2014) hal. 49-53
[2] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi: Hadis Pendidikan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), hal. 188
[3] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi: Hadis Pendidikan, hal 194
[4] Imam Al-Qusyairi An-Naisabury. Risalah Qusyairiyah, terj. Ummar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal. 257.
[5] Imam Al-Qusyairi An-Naisabury. Risalah Qusyairiyah, terj. Ummar Faruq, hal. 115
[6] Imam Al-Qusyairi An-Naisabury. Risalah Qusyairiyah, terj. Ummar Faruq, hal.153
[7] Imam Al-Qusyairi An-Naisabury. Risalah Qusyairiyah, terj. Ummar Faruq, hal. 220
[8] Al-Musawi Al-Khoemini, 40 hadis:Telaah Atas hadis-Hadis Mistik Dan Akhlak, ter. Musa Kazhim, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), hal. 254
[9] Al-Musawi Al-Khoemini, 40 hadis:Telaah Atas hadis-Hadis Mistik Dan Akhlak, ter. Musa Kazhim, hal. 404
[10]Ibnu Hajar al-asqalani. Bulughul Maram, ter. Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin, hal. 659
[13]Ibnu Hajar al-asqalani. Bulughul Maram, ter. Khalifaturrahman dan Haer Haeruddin, hal. 660
[14] http://mimbarhadis.wordpres.com/2014/04/28, diakses pada 18 oktober 2016
[15] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Kumpulan Hadist Shahih Bukhari-Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, hal. 930.
[17] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Tirmidzi : Seleksi Hadis Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hlm 820-821.

Meniadakan "Time and Space" dalam Keluarga Rakhmad

Dewasa ini banyak orang yang memiliki semangat dalam menjalankan ajaran agama. Terutama dalam keluarga Rakhmad yang benar-benar mengama...