PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Hak untuk memimpin dan
dipimpin. Hal ini ditegaskan dalam
al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30 bahwa manusia diperuntukkan untuk menjadi
pemimpin di muka bumi dan juga dikuatkan dengan hadis Nabi Muhammad Saw yang
menyebutkan bahwa setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dan orang
lain dan kelak akan dipertanggung jawabkan atas masyarakat yang dipimpinnya.
Tentu menjadi hal yang wajar jika manusia memiliki potensi untuk
menjadi pemimpin baik dalam ranah kecil maupun besar. Hal tersebut sudah titah
dari Maha kuasa untuk manusia mengembang amanah sebagai pemimpin. Pemimpin memiliki
tanggung jawab yang besar. Seorang pemimpin harus bersikap seadil-adilnya dan
harus berusaha mensejahterakan masyarakatyang berad a di
bawah kepemimpinannya. Karena Tugas dan tanggung jawab yang berat ini, Nabi
Muhammad Saw memerintahkan untuk menaati pemimpin dan adanya pelarangan berbuat
bughat dan semena-mena.
Keataan pada pemimpin memiliki syarat, tentunya seorang pemimpin
harus benar-benar berusaha bersikap adil kepada masyarakat sehingga visi dan
misi suatu bangsa dapat terealisasikan. Karena itulah ulama sepakat menetapkan
kewajiban rakyat atau umat untuk mematuhi pemimpin selama pemimpin tersebut
tidak keluar dari jalan yang diridhai. Jika dilihat dari keadaan bangsa
khususnya Indonesia, rakyat mulai membentuk suatu kumpulan untuk menyerang
negara dan pemimpin. Hal ini terjadi karena ketidak setujuan mereka dengan
sistem pemerintahan demokrasi yang berdasar pada pancasila. Mereka melakukan
berbagai perlawanan guna menjadikan bangsa Indonesia menjadi negara khilafah
berdasarkan al-Qur’an dan Hadis Nabi. Disini timbul masalah yang sangat
signifikan. Padahal dalam hadis Nabi terdapat larangan bughat atau makar
terhadap pemimpin kecuali pemimpin tersebut tidak memegang teguh ajaran agama.
Disini penulis akan memaparkan bagaimana cara taat kepada pemimpin
dengan mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis Nabi.
Penulis juga akan memberikan sedikit
solusi terhadap pemberontakan yang telah terjadi saat ini serta pada hal apa
pemberontakan bisa dianggap relevan. Namun tetap saja bahwa Nabi melarang
rakyat berbuat anarkis karena akan merugikan banyak pihak.
A.
Pengertian Pemimpin
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemimpin adalah orang yang
ditunjuk untuk memimpin organisasi dan sebagainya. Sedangkan dalam al-Qur’an,
Allah menyebutkan sebagai khalifah (pemimpin) berdasarkan QS an-Nisa ayat 30.
Pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab mengurus dan menjalankan amanah
yang diberikan kepadanya sebagai seseorang yang diberi wewenang atau di baiat
untuk memimpin suatu kelompok.
Kepala negara adalah pemegang kekuasaan dalam negara. Jabatan ini
dimaksudkan agar dapat mengatur umat manusia sesuai hukum
serta membimbing kepada kemaslahatan dan kebaikan, mengurus kepentingan dengan jujur dan adil
serta memimpin kearah kehidupan yang terhormat.
Namun tidak terbatas pada pemimpin saja, ia
hanya dipercaya mengurus agama dan dunia sekaligus, sehingga beban dan tanggung
jawabnya lebih berat maka dalam teori ini sumber kekuasaan juga terdapat
ditangan rakyat. Jika seorang pemimpin berbuat salah, rakyat mempunyai hak
untuk menasehati, meluruskan dan mengkoreksi bahkan memiliki hak untuk memecat
jika terdapat alasan yang sah. [1]
B.
Hadis Tentang Ketaatan Kepada Pemimpin
Ketaatan kepada pemimpin atau kepala negara merupakan salah satu
aspek utama dari stabilitas dan ketentraman berbangsa dan bernegara. Diingat dari tujuan pembentukan suatu negara
yakni terlaksananya hukum-hukum Tuhan (Syari’at) yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Karena itu
ulama mewajibkan rakyat agar taat kepada pemimpin selama pemimpin tersebut
tidak keluar dari jalan yang diridhai oleh Allah.
Adapun dasar-dasar yang digunakan untuk
mendukung ketaatan kepada pemimpin berdasarkan ayat al-Qur’an sebagai berikut
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kamu semua kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta kepada
kepada penguasa diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (sunahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.
(QS.
An-Nisa [4]: 59)
Hadis
وَبِهَذَا
الْإِسْنَادِ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ
الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ
بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ
(BUKHARI -
2737) : Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya,
dari Abu Hurairah; Dan dengan sanad diatas, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam
juga bersabda: "Barang siapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat
kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti dia telah
bermaksiat kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia
telah taat kepadaku dan barang siapa yang bermaksiat kepada pemimpin berarti
dia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya imam (pemimpin) adalah laksana
benteng, dimana orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung
dengannya. Maka jika dia memerintah dengan berlandaskan taqwa kepada Allah dan
keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun jika dia berkata sebaliknya
maka dia akan menanggung dosa".
Berdasarkan
hadis diatas, Nabi menyerukan kepada umatnya untuk memiliki sifat taat. Taat
kepada pemimpin berarti taat kepada Allah dan berbuat maksiat kepada pemimpin
juga bearti maksiat kepada Allah. Tidak hanya perihal taat, hadis di atas juga
mengibaratkan pemimpin laksana benteng yaitu sebagai pelindung bagi rakyat yang
dipimpinnya sehingga ketaatan kepada pemimpin dianggap perlu jika dilihat dari
seberapa beratnnya beban yang ditanggung oleh seorang pemimpin.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي
أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ
اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
(BUKHARI - 652)
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan
kepada kami Yahya telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata, telah
menceritakan kepadaku Abu At Tayyah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Dengar dan taatlah kalian, sekalipun
yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi yang berambut keriting
seperti buah kismis."
Setiap
orang berhak menjadi pemimpin. Tidak memandang kepada rupa, ras dan suku.
Syarat menjadi pemimpin tidak berdasarkan fisik akan tetapi lebih dominan
kepada bagaimana ia memimpin rakyatnya. Dengan sikap adil dan tidak menyuruh
kepada kemunngkaran.
C. Hadis tentang Syarat kepada Pemimpin
Tujuan pembentukkan negara adalah untuk melaksanakan ketentuan
Allah yang ada dalam ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Oleh karena hal itu, tidak
ada cara lain untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita negara kecuali dengan
ketundukkan dan ketaaan seluruh rakyat kepada kepala negara yang akan
menjalankan hukum dan ketentuan-ketentuan Allah.karena pada negara.
Adapun syarat-syarat pemimpin yang harus
ditaati sebagai berikut:
1. Kepala negara adalah orang yang menjalankan syari’at Islam dalam arti luas.
Sehingga pemimpin dalah QS an Nisa ayat 59 wajib ditaati oleh rakyat yang
dipimpinnya.
2. Pemimpin atau kepala negara tersebut berlaku adil. Sehingga pemimpin yang
berbuat dzalim tidak wajib ditaati. Menurut Fahral-Razi dalam tafsirnya dengan
tegas mengatakan bahwa ketika Allah memenrintahkan pemimpin untuk berlaku adil
juga sekaligus memerintahkan kepada rakyat untuk mentaati pemimpin tersebut.
3. Pemimpin tidak memerintahkan kepada rakyat untuk berbuat maksiat karena
tugas pokok pemimpin adalah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang berbuat
kemungkaran. Maka ketika ada pemimpin yang memerintahkan berbuat maksiat tidak
ada kewajiban untuk mendekatinya.
Berdasarkan tiga syarat diatas terdapat
kreteria-kreteria seseorang wajib taat kepada pemimpin. Masalah ketaatan
merupakan bagian terpenting sehingga kehidupan yang diidam-idamkan akan
terwujud. Suatu negara yang rakyatnya tidak patuh dan tunduk (dalam arti taat terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku) maka pemimpin tidak akan bisa melaksanakan
peraturan-peraturan itu. Dan akhirnya terjadi benturan-benturan yang berakhir
dengan kekacauan. Oleh karenanya, harus ada kerjasama antara pemimpin dan
rakyat dalam membangun negara sehingga terciptanya ketentraman dan stabilitas
antar sesama.[2]
Kreteria paling utama sebagai pemimpin adalah sifat adil sebagai
mana hadis Nabi
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ
مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ
وَلَا طَاعَةَ
(BUKHARI - 2735) : Telah bercerita
kepada kami Musaddad telah bercerita kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata
telah bercerita kepadaku Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula, telah bercerita kepadaku
Muhammad bin Shobbah telah bercerita kepada kami Isma'il bin Zakariya' dari
'Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mendengar dan taat adalah haq
(kewajiban) selama tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila diperintah berbuat
maksiat maka tidak ada (kewajiban) untuk mendengar dan taat".
Dan dikuatkan lagi dengan hadis riwayat Bukhari tentang pentingnya
sikap adil seorang pemimpin.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ
عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ
فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ
نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ
وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ
اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ
يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
(BUKHARI - 620)
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Bundar berkata, telah
menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan
kepadaku Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada tujuh golongan manusia
yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya; pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan
'ibadah kepada Rabbnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid,
dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah; mereka tidak bertemu
kecuali karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak
berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, 'Aku
takut kepada Allah', dan seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya
hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan
kanannya, serta seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan
mengasingkan diri hingga kedua matanya basah karena menangis."
Tidak melakukan
dusta
و حَدَّثَنَا أَبُو
بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلَا يُزَكِّيهِمْ قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
(MUSLIM - 156)
: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Waki' dan Abu Muawiyah dari al-A'masy dari Abu Hazim
dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Ada tiga orang yang mana Allah tidak mengajak mereka berbicara
pada hari kiamat, dan tidak mensucikan mereka." Abu Mu'awiyah menyebutkan,
"Dan tidak melihat kepada mereka. Dan mereka mendapatkan siksa yang pedih:
yaitu orang tua yang pezina, pemimpin yang pendusta, dan orang miskin yang
sombong."
Sungguh-sungguh dalam mengemban amanah
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا
وَقَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ
أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ
عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ
بِحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ
ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ
(MUSLIM - 205)
: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan al-Misma'i dan Muhammad bin
al-Mutsanna serta Ishaq bin Ibrahim, Ishaq berkata, telah mengabarkan kepada
kami, sedangkan dua orang lainnya berkata; telah menceritakan kepada kami Mu'adz
bin Hisyam dia berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah dari
Abu al-Malih, bahwa Ubaidullah bin Ziyad mengunjungi Ma'qil bin Yasar ketika ia
sedang sakit, Ma'qil kemudian berkata kepadanya, 'Sesungguhnya aku menceritakan
kepadamu sebuah hadits, kalau bukan karena saya berada di ambang kematian,
niscaya aku tidak menceritakannya kepadamu. Saya mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak seorang pemimpin pun yang
mengurusi perkara kaum muslimin, kemudian dia tidak bersungguh-sungguh bekerja
untuk mereka dan menasihatinya, kecuali oa pasti tidak akan masuk surga bersama
mereka'."
D.
Larangan Bughat
Secara etimologi, kata bughat berasal dari
bahasa Arab بغى yang berarti
sama dengan kata ظلم yaitu berlaku
dzalim atau menindas[3]
Sedangkan secara terminologi, para fukaha
berbeda pendapat mengenai bughat.
a. Pendapat malikiyyah, bughat berarti pemberontak sebagai suatu sekelompok
yang menentang pemimpin
b. Pendapat Hanafiyyah, bughat berarti keluar dari ketaatan terhadap pemimpin
yang sah
c. Pendapat Syafi’iyyah, bughat berarti orang-orang Islam yang melawan
pemimpin
d. Ulama Habilah, bughat berarti orang-orang yang keluar dari pemimpin meski
pemimpin tersebut tidak adil sekalipun.[4]
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama
malikiyyah mengatakan bahwa orang yang melawan pemimpin adalah pemberontak
meskipun hal tersebut atas dasar
kebenaran. Melawan pemimpin bukan cara
yang tepat untuk menegakkan kebenaran dan meluruskan. Pemberontakan yang
diakukan akan mengakibatkan kerusakan dan meruntuhkan kehidupan bernegara. Hukum memberontak juga haram hukumnya karena
kepemimpinan tersebut diakui oleh pemerintah.[5]
Dalam sebabbnya, orang yang melakukan bughat
terdapat tiga kondisi
1. Disebabkan masalah politik dan ekonomi
2. Persoalan ketidaksepakatan ide atau implementasi dalam proses pemerintahan
3. Pemerintah melakukan tindakan dan dzalim kepada rakyat
Dari tiga diatas bughat sangat berkaitan erat
dengan amar ma’ruf nahi munkar, artinya memerintahkan kepada yang baik
dan mencegah yang mungkar.
Melihat
dari tindakan bughat hampir dikatakan sama dengan hirabah (perampokkan)
dan terorisme yakni sama-sama mengadakan pemberontakan dan terjadi kekacauan
dalam sebuah negara. namun jika dilihat dari motif yang melatarbelakanginya
ketiganya sangat berbeda. Jadi tegsnya, bughat bukan semata mengadakan
kekacauan dan menganggu keamanan akan tetapi bertujuan mengambil alih tampuk
kekuasaan dan menggulinngkan pemerintah yang sah.
E. Kasus Pembangunan Sistem Khilafah di Indonesia
Suatu kelompok bernama Hizbut Tahrir
(HT) mendifinisikan diri mereka sebagai partai politik yang berideologi Islam
dan ingin membimbing umat manusia untuk
mendirikan sistem khilafah dan menegakkan hokum-hukum Allah. Menurut keyakinan HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia) yang kini mulai tersebar di Indonesia, hukum Islam mustahil
bisa diterapkan dengan sempurna sebelum adanya khilafah (negara Islam)
dan seorang khalifah yang dibaiat wajib untuk ditaati atas dasar
al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. [6]
Sebagai
gerakan politik yang berideologi Islam, HTI memiliki fikiran, tujuan dan
aktivitas. Dasar pemikirannya adalah pemikiran Islam. Pemikiran tersebut
meliputi akidah Islam dan hukum-hukum Islam. Adapun tujuan utama yaitu
mengembalikan kehidupan islami serta mengemban dakwah dengan mendirikan khilafah.
Dengan kata lain HTI bertujuan untuk mengembalikan ke dar al-Islam dan
masyarakat Islam. Dengan kata
lain semua urusan kehidupan dijalankan
sesuai dengan hukum yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta dengan dalil
jihad. [7]
Padahal dalam hadis dijelaskan bahwa tidak dibenarkan seseorang
atau sekelompok berbuat pemberontakkan selama pemimpin tersebut tidak menyalahi
hukum Allah.
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ يَعْنِي ابْنَ حَازِمٍ
حَدَّثَنَا غَيْلَانُ بْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي قَيْسِ بْنِ رِيَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ
مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ
قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ
أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي
يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي
عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ
و حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ
بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ رِيَاحٍ
الْقَيْسِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِنَحْوِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَقَالَ لَا يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا
(MUSLIM - 3436) : Telah menceritakan kepada kami Syaiban
bin Farruh telah menceritakan kepada kami Jarir -yaitu Ibnu Hazim- telah
menceritakan kepada kami Ghailan bin Jarir dari Abu Qais bin Riyah dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa
keluar dari ketaatan dan tidak mau bergabung dengan Jama'ah kemudian ia mati,
maka matinya seperti mati jahiliyah. Dan barangsiapa mati di bawah bendera
kefanatikan, dia marah karena fanatik kesukuan atau karena ingin menolong
kebangsaan kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. Dan
barangsiapa keluar dari ummatku, kemudian menyerang orang-orang yang baik
maupun yang fajir tanpa memperdulikan orang mukmin, dan tidak pernah
mengindahkan janji yang telah di buatnya, maka dia tidak termasuk dari
golonganku dan saya tidak termasuk dari golongannya." Dan telah
menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin Umar Al Qawariri telah menceritakan
kepada kami Hammad bin Zaid telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Ghailan
bin Jarir dari Ziyad bin Riyah Al Qaisi dari Abu Hurairah dia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda seperti hadits Jarir,
dia berkata, "Dan tidak memperdulikan orang mukminnya."
KESIMPULAN
Taat kepada pemimpin merupakan perintah
langsung dari Allah. Karena pemimpin adalah wasilah dari Allah untuk mengatur
kehidupan manusia. Nabi juga menegaskan dalam hadisnya tentang ketaatan
terhadap pemimpin serta syarat-syarat pemimpin yang harus ditaati. diantaranya
adanya sifat adil, amar ma’ruf dan nahi munkar. Ketaatan berlangsung selama
pemimpin tersebut tidak berbuat kedzaliman terhadap rakyatnya. Nabi juga
melarang adanya tindak anarkis dari rakyat yang menimbulkan kekacauan dalam
berbangsa dan bernegara. Karena tujuan dari pembentukkan negara ialah untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah yang ada dalam al-Qur’an dan hadis Nabi.
Sehingga apabila ada terjadi pemberontakkan, pemerintah boleh memberikan sangsi
kepada pihak yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Abdul Qadir. 2007. At-Tasyri’ Al-Jinaiy
Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Terj.Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum
Pidana Islam. Bogor:PT. Kharisma Ilmu.
Maulana, Imam. 2015. Makalah Sanksi
Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
Muhibbin. 1996. Hadis-Hadis Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Leliska.
Muthohar, Ali. 2005. Kamus Besar Arab-Indonesia. Jakarta: PT Mizan Publika.
Rodhi, Muhammad Muhsin. 2012. Tsaqafah dan Metode HIzbut Tahrir
dalam Mendirikan Negara Khilafah. Bogor: al-Azhar Fresh Zone Publishing.
Saifuddin. 2012. Khalifah vis a vis Nation State, Telaah
atas Pemikiran Politik HTI. Yogyakarta: Mahameru.
[1] Muhibbin, Hadis-Hadis Politik, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Leliska, 1996), hlm. 30.
[2] Muhibbin, Hadis-Hadis Politik...,hlm.
86.
[3] Ali Muthohar, Kamus Besar
Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), hlm. 228.
[4] Makalah Imam Maulana, Sanksi Bughat dan
Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, 2015, hlm. 16.
[5] Lihat Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’
Al-Jinaiy Al-Islami Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Terj. Tim Tsalisah,
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor:PT. Kharisma Ilmu, 2007), hlm. 245.
[6]
Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqafah dan Metode HIzbut Tahrir dalam Mendirikan
Negara Khilafah (bogor: al-Azhar Fresh Zone Publishing, 2012), hlm 23.
[7]
Saifuddin, Khalifah vis a vis Nation State, Telaah atas Pemikiran Politik
HTI (Yogyakarta: Mahameru, 2012), hlm. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar