Kamis, 04 Oktober 2018

ILMU MUKHTALIF HADIS


‘Ilmu Musykil aw Mukhtalif al-Hadis
A.      Pengertian
     ‘Ilmu musykil al-hadis merupakan salah satu cabang dari ilmu hadis. Secara umum, istilah musykil merupakan sebuah istilah yang sering dijumpai dalam ilmu dan kajian keislaman. Dalam ilmu hadis sendiri, istilah musykil digunakan untuk segala aspek yang tidak jelas. Istilah ini dalam disiplin ilmu sanad hadis merujuk pada sebuah disiplin ilmu tentang nama-nama periwayat hadis yang sekilas nampak sama, namun pada kenyataannya berbeda. Seperti sama dalam tulisan nama, namun berbeda dalam pengucapan. Akibatnya banyak orang yang salah menyebut dan keliru dalam menentukan periwayat dalam suatu hadis tertentu. Karena kasus ini, kemudian lahir sebuah disiplin ilmu khusus yang mengkaji tentang nama-nama periwayat hadis yang dianggap mirip, yaitu ‘ilmu al-mu’talif wa al-mukhtalif.[1]
     Sedangkan dalam disiplin ilmu matan hadis, istilah musykil merujuk pada adanya redaksi-redaksi hadis (matan) dalam satu tema yang sama yang maknanya secara zahir terlihat bertentangan. Dalam hal ini, disiplin ilmu tersebut dinamakan sebagai ‘ilmu mukhtalif al-hadis. Jadi, ‘ilmu musykil al-hadis merupakan sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang ketidakjelasan atau bersifat kontadiktif terkait hal-hal yang bersangkutan dengan hadis, baik itu dalam sanad mau pun dalam matan. Sedangkan ‘ilmu mukhtalif al-hadis yang akan dibahas dalam tulisan ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang lebih spesifik dibandingkan ‘ilmu musykil al-hadis yang umum.
     Secara bahasa, kata mukhtalif merupakan kata kerja (ism fā‘il) dari kata ikhtilāf  yang berarti kontradiktif atau berlawanan.[2] Maksudnya, mukhtalif al-hadis adalah hadis-hadis yang secara tersurat memiliki makna yang bertentangan satu sama lain. Sedangkan secara istilah Imam Nawawi mendefinisikan mukhtalif al-hadis dengan redaksi berikut:
مختلف الحديث هو أن يأتي حديثان متضادان فى المعني ظاهرا فيوفق بينهما أو يرجح أحدهما
Mukhtalif al-hadis adalah adanya dua hadis yang bertentangan secara makna zahir, kemudian dikompromikan antara keduanya atau ditarjīh salah satunya.[3]
     Dalam bukunya Taisīr Mushthalah al-Hadīs, Dr. Mahmud al-Thahhan mendefinisikannya sebagai berikut:
مختلف الحديث هو الحديث المقبول المعارضة بمثله مع إمكان الجمع بينهما
Mukhtalif al-hadis adalah hadis maqbul yang bertentangan dengan semisalnya (hadis maqbul lainnya), (tetapi) ada kemungkinan kompromi antara keduanya.[4]
     Dari kedua definisi di atas, dapat diketahui bahwa hadis-hadis kontradiktif memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
1.      Hadis yang kontradiktif secara makna zahir.
Beberapa hadis memang nampak bertentangan secara zahir, namun setelah diteliti lebih jauh, hadis tersebut dapat dikompromikan sehingga maksud dari hadis-hadis tersebut tidak bertentangan.
2.      Hadis yang kontradiktif terjadi pada hadis-hadis yang diterima, baik itu hadis shahih atau pun hadis hasan.
Karena jika hadis kontradiktif tersebut terjadi pada hadis yang maqbūl dan mardūd, maka sudah dapat dipastikan bahwa yang benar adalah hadis yang maqbūl.
3.      Kemungkinan dapat dilakukannya kompromi.
Kompromi itu sendiri dapat dilakukan dengan mengkhususkan hadis yang umum atau menjelaskannya. Jika yang demikian tidak dapat dilakukan, maka dilakukan nasikh hadis atau mentarjīh salah satunya.[5]

B.     Penyebab Hadis Mukhtalif
Menurut Abdul Mustaqim, ada empat faktor yang menjadikan hadis terkesan bertentangan, yaitu:
1.      Faktor internal, yakni pada matan hadis. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) sehinga hadis tersebut menjadi dha’īf (lemah).
2.      Faktor eksternal, yakni faktor yang disebabkan pada konteks kepada siapa nabi berbicara.
3.      Faktor metodologi, yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami hadis tersebut.
4.      Faktor ideologi, yakni berkaitan dengan mazhab atau ideologi seseorang dalam memahami hadis.[6]

C.    Metode Menyelesaikan Hadis Mukhtalif
Menurut Imam Syafi’i, menyelesaikan hadis mukhtalif dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) melakukan kompromi, (2) naskh al-hadīs, (3) melakukan tarjīh,[7] dan (4) tawaquf.
1)   Penyelesaian dengan Cara Kompromi
Metode kompromi yang dimaksud dalam penyelesaian hadis mukhtalif ialah menghilangkan adanya pertentangan yang terlihat secara makna lahiriyahnya dengan menulusuri titik temu dalam setiap makna yang terkandung di dalamnya, sehingga maksud yang sedang dituju antara satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Maka untuk menemukan benang merah hadis yang saling yang bertentangan, terdapat empat cara yang termuat dalam metode ini;
a.    Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan Kaidah Ushuliyyah
Penyelesaian dengan menggunakan pemahaman ini ialah memahami hadis nabi dengan mentelaah dan mempedomi segala ketentuan ataupun kaidah ushul yang berkaitan yang telah dirumuskan oleh ulama (usūliyyun). Jadi objek penelusuran kajian ilmu ushul fiqh ialah bagaimana untuk mengistibatkan dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an maupun hadis. Untuk memperoleh hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu memahami dalil-dalil tersebut agar istinbat bersesuaian dengan tujuan dalil.
Sebagai contoh hadis mengenai pengambilan upah dari jasa berbekam:
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyar dari Muhammad, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Syu’bah dari Al Mughirah, ia berkata; saya mendengar Ibnu Abu Nu’m, ia berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah saw melarang dari usaha tukang bekam, menjual anjing serta penyewaan pejantan. ( HR An Nasa’i)
Hadis kedua:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Al Walid bin Muslim dari Al Auza’i dari Yahya bin Katsir telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Qaritz dari As Saib bin Yazid telah menceritakan kepadaku Rafi’ bin Khudaij dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Hasil usaha jual beli anjing adalah buruk, hasil usaha pelacuran adalah buruk dan hasil usaha bekam juga buruk. (HR Muslim)
Kedua hadis ini menyebutkan larangan mengambil upah dari jasa berbekam akan tetapi terdapat hadis yang menyebutkan:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Anas ra bahwa dia ditanya mengenai upah tukang bekam, dia menjawab; “Abu Thaibah pernah membekam Rasulullah saw, beliau memberinya dua sha’ makanan dan menyarankan supaya meringankan beban hamba sahayanya, setelah itu beliau bersabda: “Sebaik-baik sesuatu yang kalian gunakan untuk obat adalah bekam dan terapi kayu gaharu”, beliau juga bersabda: “Dan janganlah kalian sakiti anak kalian dengan memasukkan jari ke dalam mulut.” (HR Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian beliau memberinya upah. Meninjau dari segi redaksi antara hadis pertama dan kedua bertentangan dengan hadis ketiga. Hadis pertama dan kedua menjelaskan adanya larangan untuk mengambil keuntungan berbekam sekaligus menyatakan perbuatan tersebut hukumnya haram. Para ulama memahami hadis demikian dengan menggunakan pendekatan mutlāq dan muqayyad. Haramnnya kasb al-hajm dinilai suatu yang mutlāq, kemudian adanya batasan berupa qarīnah karena mengambil manfaat dari orang lain dan Rasulullah mengerjakannya. Qarīnah merubah hukum kasb al-hajm tidak lagi haram akan tetapi makruh.[8]
b.    Pemahaman Kontekstual
Dalam pemahaman ini bermaksud untuk memahami segala hadis nabi dengan caraa memperhatikan dan mengkaji berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut –memperhatikan asbāb al-wurūd-.
Urgensi dengan memperhatikan konteks hadis apabila diikursertakan dalam memahami hadis mukhtalif bertujuan untuk memahami maksud dalam hadis yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya sehingga tampak secara lahiriyah perbedaan konteks kemudian dapat dihilangkan dan diketahui arah pemahamannya.[9]
Salah satu contoh mengenai hadis tentang peminangan, ada hadis yang melarangnya namun ada pula yang membolehkannya:
Hadis Pertama:
“Dari Nabi saw, beliau bersabda: “Janganlah seorang laki-laki meminang dari pinangan saudaranya”. (HR Muslim)
Hadis Kedua:
“Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Adapun Abu Jahm adalah laki-laki yang suka memukul istrinya, sedangkan Mu’awiyah adalah laki-laki miskin yang tidak punya harta, maka menikahlah dengan dengan Usamah bin Zaid, kata Fathimah: “Aku kurang senang kepadanya”. Maka Rasulullah berkata lagi: “Nikahlah dengan Usamah, kemudian Fathimah berkata: “Maka aku menikah denganya, Allah pun memberkahi perkawinan kami dan akupun bahagia”. (HR Muslim)
Hadis kedua, membahas tentang Fathimah bin Qais yang telah ditalak oleh suaminya. Setelah masa ‘iddahnya selesai, ia menyampaikan kepada Rasulullah bahwa ia telah dipinang oleh dua orang sahabat yaitu Abu Jahm dan Mu’awiyah. Tentunya ini bertentang dengan hadis yang pertama karena Fathimah telah dipinang oleh dua orang sahabat kemudian Rasulullah meminangnya juga.
Menurut imam al-Syafi’i hadis kedua tidak bertentangan dengan hadis pertama, karena hadis pertama mengandung makna tersendiri serta berlaku pada situasi dan kondisi tertentu. Sedangkan hadis kedua tidak dimaksudkan dalam keadaan hadis pertama. Kedua hadis tersebut memiliki konteks yang berbeda. Al-Syafi’i meyatakan hadis pertama, boleh jadi dari jawaban dari pertanyaan seorang jawaban akan tetapi periwayat tidak mendengar sehingga tidak termuat dan melatarbelakangi hadis tersebut. Terlebih al-Syafi’i menjelaskan asbab wurūdnya, Rasulullah ditanya mengenai meminang seorang perempuan dan pinangan itu diterima kemudian dilanjutkan pada perkawinan. Setelah itu datang laki-laki yang hendak meminangnya yang lebih menarik hatinya, lalu perempuan tersebut berpaling dan meninggalkan pinangan pertama. Sedangkan hadis kedua, al-Syafi’i menerangkan Fatimah sebenarnya belum menerima pinangan tersebut seandainya ia telah menerimanya, tentulah Rasulullah tidak meminangnya untuk Usamah.[10]
c.    Pemahaman Korelatif
Pemahaman ini bermaksud memperhatikan keterkaitan makna antara hadis satu dengan yang lain yang dianggap mukhtalif dengan membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang terlihat secara lahiriyah dapat dihilangkan. Dalam menyelesaikan permasalahan ini tentunya tidak hanya satu atau dua hadis saja akan tetapi terdapat banyak hadis yang saling berkaitan. Memahami hadis-hadis tersebut dapat dilihat dengan menghubungkan keterkaitan makna sehingga dapat diperoleh gambaran pertentangan yang dapat diselesaikan. Sebagai contoh hadis tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan salat:
Hadis pertama:
“Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu al ‘Aliyah dari Ibnu Abbas dia berkata; “Beberapa orang yang telah mendapatkan keridlaan (Allah) memberi kesaksian kepadaku, di antara mereka adalah Umar bin Khattab, dan memang yang paling aku sukai di antara mereka adalah Umar, bahwa Nabi Allah saw bersabda; “Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga matahri terbit, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Abu Daud)
Dalam hadis lain dinyatakan:
“Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya At Tujibi telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah, bahwa ketika Rasulullah saw kembali dari perang Khaibar, beliau terus berjalan di malam hari, ketika beliau diserang kantuk, maka beliau singgah. Beliau bersabda kepada Bilal “Hendaknya kamu yang mengawasi tidur kami malam ini!.” Bilal shalat sekemampuan yang ditakdirkan, sementara Rasulullah saw tidur. Begitu juga dengan para sahabatnya. Ketika mendekati fajar, Bilal bersandar kepada unta tunggangannya, rupanya kedua mata Bilal terasa berat hingga ketiduran dengan posisi bersandar kepada untanya. Di pagi harinya Rasulullah saw belum juga bangun, demikian juga Bilal, dan tak satupun dari sahabatnya yang bangun hingga mereka terbangun oleh sinar matahari yang menyengat. Rasulullah saw akhirnya yang pertama-tama bangun. Rasulullah saw merasa kaget dan menyeru: “Hei Bilal!” Bilal menjawab; “Wahai Rasulullah, tadi nyawaku telah dipegang oleh Dzat yang memegang nyawamu, demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu! Beliau lalu bersabda: “Mari tuntunlah hewan tunggangan kalian.” Para sahabat pun menuntun hewan tunggangannya, sesaat Rasulullah saw berwudhu”. Beliau lalu memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan iqamat shalat. Setelah itu beliau mengimami shalat subuh bersama mereka. selesai shalat, beliau bersabda: “Siapa yang terlupa shalat, lakukanlah ketika ingat, sebab Allah telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” QS. Toha 14. Yunus berkata; sedangkan Ibnu Syihab membacanya dengan lidzdzikraa. (HR Muslim)
Dua hadis diatas sama-sama diriwiyatkan oleh Imam al-Bukhary dalam kitab Sahih-nya. Kedua hadis diatas tidak bisa langsung dipertemukan begitu saja sebelum dilihat riwayat lain untuk menarik titik temu yang relevan pertentangan antar keduanya. karena pada hadis pertama bermaksud mengenai shalat salat sunnat, sedangkan hadis kedua dipahami sebagai salat wajib, jika lupa mendapatkan rukhsah untuk mengerjakannya pada waktu ingat. Terdapat hadis lain yang relevan menjelaskan persoalan yang terkait ialah: hadis Ummu Salamah yang menerangkan bahwa: “Suatu hari Rasulullah pulang ke rumahku setelah Ashar. Lalu beliau shalat dua raka’at, tak pernah aku melihat beliau melakukan hal yang sama.” Ummu Salamah pun bertanya: engkau melakukan shalat ini yang sebelum ini tak pernah aku melihatnya. Rasul menjawab: “Sebelum ini aku senantiasa melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah zuhur. Namun tadi aku tidak sempat melakukannya karena sibuk menerima delegasi dari Tamim dan urusan sadaqah. Dua rakaat tadi ialah shala dua rakaat setelah zuhur”.
Ada juga hadis yang diriwayatkan dari Qais juga dipandang memiliki korelasi dengan dua hadis yang bertentangan di atas. Qais berkata: “pernah nabi memandangku ketika aku melaksanakan shalat dua rakaat setelah subuh. Lantas beliaupun bertanya: shalat apakah yang engkau kerjakan ini ya Qais? Tadi aku tak sempat melakukan shalat sunnat fajar. Lalu beliau diam mendengarkan penjelasanku”. Penjelasan dari Ummu Salamah dan Qais bahwa shalat yang dilarang pada hadis pertama ialah shalat sunnah ghoiru muakkad, kemudian pada keterangan dua hadis di atas mengindikasikan shalat sunnah muakkad yang boleh dilaksanakan.[11]
d.   Menggunakan Cara Ta’wil
Memalingkan lafaz dari makna lahiriyah kepada makna yang lain yang dikandung oleh lafaz. Memalingkan lafaz ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendakinya. Menurut al-Syafi’i metode ta’wil dianggap mampu untuk menyelesaikan pertentangan antara satu hadis dengan yang lainnya.
Hadis pertama:
“Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Sa’id dia berkata: Telah menceritkan kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan Qatadah dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Laksanakanlah shalat Subuh sampai hari agak terang.” (HR An-Nasa’i)
Hadis Kedua
“Telah mencertikan kepada kami Al Qa’nabi dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari ‘Amrah binti Abdirrahman dari Aisyah ra bahwasannya dia berkata; Rasulullah saw shalat Shubuh, sementara para wanita pergi ke masjid dengan menutupi wajah dan badan mereka dengan kain dari bulu domba, mereka tidak diketahui karena masih gelap.” (HR Abu Daud)
Hadis pertama menerangkan waktu shalat subuh lebih baik dilaksanakan pada saat asfar, yaitu subuh yang sudah mulai terang. Sedangkan hadis kedua menerangkan shalat subuh dilaksanakan pada waktu galas, yaitu suasana ujung malam dan datangnya cahaya subuh. Al-syafi’i menjelaskan ia justru tidak melihat adanya pertentangan antara dua hadis tersebut. Beliau menakwilkan kata isfar yang semula bermakna “waktu Shubuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” kemudian menjadi “awal waktu subuh dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit”. Dengan kata lain kata isfar dapat ditakwilkan dengan kata galas pada hadis kedua. Hadis kedua dipandang nilai lebih dari hadis pertama untuk dijadikan hujjah.[12]
2)   Melakukan naskh al-hadīs
Karena sudah diketahui secara umum tentang naskh, maka kami rasa tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai maksud dari metode ini. Dalam hal ini, metode naskh dilakukan dengan cara mengetahui mana di antara hadis mukhtalif itu yang datang lebih awal (mansūkh) dan mana yang datang belakangan (nāsikh). Dengan demikian, jelas kita ketahui bahwa hadis yang datang belakangan akan menghapus hukum yang hadis yang datang lebih awal, sehingga kita ketahui bahwa hadis tersebut tidaklah bertentangan. Contohnya hadis tentang ziarah kubur yang diriwayatkan oleh Buraidah, bahwa Nabi Saw bersabda:
قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَة
Rasulullah Saw Bersabda: “sungguh aku telah melarang kalian ziarah kubur, dan (sekarang) telah diizinkan kepada Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya, maka berziarahlah kalian. Sesungguhnya berziarah itu mengingatkan akan akhirat”.[13]
Dari hadis di atas jelas bahwa hukum ziarah kubur pada mulanya adalah haram karena kebiasaan orang Arab dulu ketika berada di kubur dan menangisi orang yang wafat sering berlebihan, bahkan sampai menyakiti diri sendiri. Kemudian Nabi membolehkan umatnya untuk berziarah kubur karena bisa mengingatkan kepada akhirat. Dengan demikian jelas bahwa hukum yang pertama sebenarnya telah dihapus oleh adanya pernyataan Nabi yang datang belakangan.
3)   Melakukan Tarjīh
Secara etimologi, tarjīh berarti tafdil: mengutamakan, dan taqwiyah: menguatkan. Menurut istlah usuliyan adalah
اظهار امتياز احد الدليلين المتماثلين بوصف يجعله اولى بالا عتبار من الأخر
“menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain”.
Menurut istilah ahli hadis adalah
جعل الحديثين المتعارضين ولم يمكن الجمع بينهما راجحا والأخر مرجوحا بسبب من أسباب الترجييح
menjadikan rajih salah satu dari dua hadis yang berlawanan yang tidak bisa dikompromikan, dan menjadikan yangs sebuah lagi marjuh. Dengan karena ada sesuatu sebab dari sebab-sebab tarjīh”.[14]
Tarjīh adalah suatu satu upaya komparatif untuk mengetahui sanad yang lebih kuat daripada hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama bahwa tarjīh adalah menampakkan kelebihan antara dua dalil yang sama lalu di pilih yang paling utama.[15] Tarjīh merupakan cara terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadis mukhtalif jika jalan taufik dan nasakh mengalami kebuntuan. Maka hadis-hadis tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan (tawaqquf).
Tarjīh sebagai salah satu langkah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif yang tidak bersifat opsional, metode ini dilakukan kapan saja jika terdapat hadis mukhtalif. Sebelum melakukan tarjīh, harus didahulukan metode al-Jam’u. karena jika memilih dan menguatkan hadis terlebih dahulu akan mengundang konsekoensi yang besar dan banyak hadis-hadis yang terabaikan. Menurut Ibnu Daqiq al- ‘Id “tidak diragukan lagi bahwa al-Jam’u (harus) didahulukan daripada tarjīh dan nasakh”.[16]
Adapun tarjīh dkelompokkan dalam 4 kategori
Metode Tarjih
1.      Tarjih dengan memperhatikan lafal khabar (khash atas ‘am)
2.       Tarjih dengan mendahulukan lafaz hakiki atas lafaz majazi
3.      Tarjih dengan mendahulukan qaul atas fi’il
4.      Tarjih dengan mendahulukan kata yang mengandung larangan atas pembolehan
Contoh Penyelesaian
Hujjah digunakan sebagai data dan argumen untuk melemahkan suatu hadis yang memiliki kehujjahan yang sedikit baik dari segi sanad maupun matan. Dengan mengacu pada data, dapat diketahui antara hadis yang bertentangan tersebut yang lebih rajih, sehingga dengan marjuh-nya yang lemah yang menyebabkan pertentangan yang terjadi hilang, yakni ditinggalkan hadis yang lemah.[17]

Contoh Hadis Mukhtalif pada Matan
Hadis Pertama
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إذا جلس أحدكم على حاجته فلا يستقبل القبلة ولا يسستدبرها (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW bersabda: apabila seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan menghadap dan membelakangi kiblat. (HR. Muslim)

 Hadis kedua
عن ابن عمر رضي الله عنه قال رقيت على بيتي أختي حفصة فرايت رسول الله عليه و سلم قاعدا لحجته مستقبل الشام مستدبر القبلة (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA berkata; aku datang ke rumah saudari perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW salam keadaan duduk untuk buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi kiblat. (HR. Muslim).[18]
4)      Melakukan Tawaquf
Penyelesaian dalam bentuk ini yaitu mendiamkan antara dua hadis yang  bertentangan atau tidak mengamalkan Hadis kedunya untuk sementara waktu sampai terdapat dalil yang mengunggulkannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa konsekunsi dlam metode ini tidak adanya kedua hadis tersebut yang bertentangan dn dikembalikan pada kaidah ushul fiqih  yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu boleh dilakukan, smpai terdapat dalil yang mengharamkannya.
Sebagian ulama tidak menggunakan metode  Tawaqquf dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif. Hal ini sama saja dengan mendiamkan permasalahan tanpa adanya pemecahannya. Karena mendiamkan suatu peristiwa adlah sebuah hal yang sia-sia.[19]

Literatur:
1.      Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.
2.      Hamzah Abdullah al Malibary dalam kitabnya Hadis Ma’lul Qawaid wa Dhawaabit.
3.      Mukhtalaf  dalam Taqrib.
4.      Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis.
5.      Abu al-Fadhil Zainuddin Abdurrahim dalam kitabnya  At-Taqyid wa al-Idhah Syarah Muqaddimah Ibnu Shalah.
6.      Ibrahim bin Musa bin Ayyub dalam kitabnya Asy-Syadza al-Fayyah min Ulum ibnu Shalah Rahimahullah Ta’ala.
7.      Imam Syafi’i dalam kitabya Ikhtilaf al-Hadis.
8.      Iman Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm.
9.      Abdul Malik Ghazali dalam kitabnya Aqliyyah Ahl al-Hadis: Manhaj ‘Aqliy li Ibnu Qutaibah Al Daynury Fi Fiqh Mukhtalif al-Hadis.
10.  Pdf skripsi oleh Aswar yang berjudul Metode Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadis (Telaah dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Ibu Qutaibah.






Daftar Pustaka

al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.th.
Asror, Miftahul. Membedah Hadis Nabi SAW. Madiun: Jaya Star Nine, 2015.
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin XVII, no. 2 (Juli 2011).
Fathoni, Muhammad. Metode Tarjih Dalam Hadits. Dalam https://tonnyparadizza.blogspot.com
Juned, Daniel. Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.
Khariri. Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009.
Khon, Abdul Majid. Takhrīj dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.
Mahmud, Thahhan. Taisīr Mushthalah al-Hadis. Surabaya: Toko Kitab Hidayah, t.t.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi. Yogyakarta: Idea Press, 2016.
Noorhidayati, Salamah. ‘Ilmu Mukthalif Al-Hadis : Kajian Metodologis dan Praktis. Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016.





                [1]Daniel Juned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 99.
                [2]Abdul Majid Khon, Takhrīj dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 195.
                [3]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009), h. 25.
                [4]Mahmud al-Thahhan, Taisīr Mushthalah al-Hadis (Surabaya: Toko Kitab Hidayah, t.t.), h. 56.
                [5]Majid, Takhrīj dan Metode..., h. 196-197.
                [6]Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi (Yogyakarta: Idea Press, 2016) h. 86-87.
                [7]Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin XVII, no. 2 (Juli 2011), h. 189.
                [8]Salamah Noorhidayati, ‘Ilmu Mukthalif Al-Hadis : Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 102-105.
                [9]Noorhidayati, ‘Ilmu Mukthalif Al-Hadis..., h. 105-106
                [10]Bay, “Metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut al-syafi’i,” h. 190-191.
                [11]Bay, “Metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut al-syafi’i,” h. 109-113.
                [12]Bay, “Metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut al-syafi’i,” h. 113-114.
                [13]Imam al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.th), no. 1054.
                [14]Noorhidayati, ‘Ilmu Mukthalif Al-Hadis..., h. 69.
            [15]Miftahul Asrar, Membedah Hadis Nabi Saw (Madiun: Jaya Star Nine, 2015), h. 374.
                [16]Juned, Ilmu Hadis: Paradigma..,  h. 149.
                [17]Noorhidayati, ‘Ilmu Mukthalif Al-Hadis..., h. 123.
[18]Muhammad Fathoni, “Metode Tarjih Dalam Hadits” dalam https://tonnyparadizza.blogspot.com, diakses pada tanggal 28 November 2017.
[19] Miftahul Asror, Membedah Hadis Nabi SAW, (Madiun: Jaya Star Nine, 2015), hlm. 375.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniadakan "Time and Space" dalam Keluarga Rakhmad

Dewasa ini banyak orang yang memiliki semangat dalam menjalankan ajaran agama. Terutama dalam keluarga Rakhmad yang benar-benar mengama...