‘Ilmu Musykil aw Mukhtalif al-Hadis
A.
Pengertian
‘Ilmu musykil al-hadis merupakan salah satu cabang dari ilmu hadis. Secara umum, istilah musykil
merupakan sebuah istilah yang sering dijumpai dalam ilmu dan kajian keislaman.
Dalam ilmu hadis sendiri, istilah musykil digunakan untuk segala aspek
yang tidak jelas. Istilah ini dalam disiplin ilmu sanad hadis merujuk pada
sebuah disiplin ilmu tentang nama-nama periwayat hadis yang sekilas nampak
sama, namun pada kenyataannya berbeda. Seperti sama dalam tulisan nama, namun
berbeda dalam pengucapan. Akibatnya banyak orang yang salah menyebut dan keliru
dalam menentukan periwayat dalam suatu hadis tertentu. Karena kasus ini,
kemudian lahir sebuah disiplin ilmu khusus yang mengkaji tentang nama-nama
periwayat hadis yang dianggap mirip, yaitu ‘ilmu al-mu’talif wa al-mukhtalif.[1]
Sedangkan
dalam disiplin ilmu matan hadis, istilah musykil merujuk pada adanya
redaksi-redaksi hadis (matan) dalam satu tema yang sama yang maknanya secara
zahir terlihat bertentangan. Dalam hal ini, disiplin ilmu tersebut dinamakan
sebagai ‘ilmu mukhtalif al-hadis. Jadi, ‘ilmu musykil al-hadis
merupakan sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang ketidakjelasan atau
bersifat kontadiktif terkait hal-hal yang bersangkutan dengan hadis, baik itu
dalam sanad mau pun dalam matan. Sedangkan ‘ilmu mukhtalif al-hadis yang
akan dibahas dalam tulisan ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang lebih
spesifik dibandingkan ‘ilmu musykil al-hadis yang umum.
Secara bahasa, kata mukhtalif
merupakan kata kerja (ism fā‘il) dari
kata ikhtilāf yang
berarti kontradiktif atau berlawanan.[2] Maksudnya,
mukhtalif al-hadis adalah hadis-hadis yang secara tersurat memiliki
makna yang bertentangan satu sama lain. Sedangkan secara istilah Imam Nawawi mendefinisikan
mukhtalif al-hadis dengan redaksi berikut:
مختلف
الحديث هو أن يأتي حديثان متضادان فى المعني ظاهرا فيوفق بينهما أو يرجح أحدهما
Mukhtalif al-hadis adalah adanya dua hadis yang bertentangan secara
makna zahir, kemudian dikompromikan antara keduanya atau ditarjīh salah
satunya.[3]
Dalam bukunya Taisīr Mushthalah al-Hadīs, Dr. Mahmud
al-Thahhan mendefinisikannya sebagai berikut:
مختلف
الحديث هو الحديث المقبول المعارضة بمثله مع إمكان الجمع بينهما
Mukhtalif al-hadis adalah hadis maqbul yang bertentangan dengan
semisalnya (hadis maqbul lainnya), (tetapi) ada kemungkinan kompromi antara
keduanya.[4]
Dari kedua definisi di atas,
dapat diketahui bahwa hadis-hadis kontradiktif memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
1.
Hadis yang
kontradiktif secara makna zahir.
Beberapa hadis memang nampak bertentangan secara zahir, namun setelah
diteliti lebih jauh, hadis tersebut dapat dikompromikan sehingga maksud dari
hadis-hadis tersebut tidak bertentangan.
2.
Hadis yang
kontradiktif terjadi pada hadis-hadis yang diterima, baik itu hadis shahih atau
pun hadis hasan.
Karena jika hadis kontradiktif tersebut terjadi pada hadis yang maqbūl dan mardūd, maka sudah dapat dipastikan bahwa yang benar adalah hadis yang maqbūl.
3.
Kemungkinan
dapat dilakukannya kompromi.
Kompromi itu sendiri dapat dilakukan dengan mengkhususkan hadis yang
umum atau menjelaskannya. Jika yang demikian tidak dapat dilakukan, maka
dilakukan nasikh hadis atau mentarjīh salah satunya.[5]
B.
Penyebab
Hadis Mukhtalif
Menurut Abdul Mustaqim, ada empat
faktor yang menjadikan hadis terkesan bertentangan, yaitu:
1.
Faktor
internal, yakni pada matan hadis. Biasanya terdapat ‘illat (cacat)
sehinga hadis tersebut menjadi dha’īf (lemah).
2.
Faktor
eksternal, yakni faktor yang disebabkan pada konteks kepada siapa nabi
berbicara.
3.
Faktor
metodologi, yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami hadis
tersebut.
4.
Faktor
ideologi, yakni berkaitan dengan mazhab atau ideologi seseorang dalam memahami
hadis.[6]
C.
Metode
Menyelesaikan Hadis Mukhtalif
Menurut Imam Syafi’i, menyelesaikan
hadis mukhtalif dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) melakukan
kompromi, (2) naskh al-hadīs, (3)
melakukan tarjīh,[7]
dan (4) tawaquf.
1)
Penyelesaian
dengan Cara Kompromi
Metode kompromi yang dimaksud dalam penyelesaian hadis
mukhtalif ialah menghilangkan adanya pertentangan yang terlihat secara
makna lahiriyahnya dengan menulusuri titik temu dalam setiap makna yang
terkandung di dalamnya, sehingga maksud yang sedang dituju antara satu dengan
yang lainnya dapat dikompromikan. Maka untuk menemukan benang merah hadis yang
saling yang bertentangan, terdapat empat cara yang termuat dalam metode ini;
a.
Pemahaman
dengan Menggunakan Pendekatan Kaidah Ushuliyyah
Penyelesaian dengan menggunakan pemahaman ini ialah memahami hadis nabi
dengan mentelaah dan mempedomi segala ketentuan ataupun kaidah ushul yang
berkaitan yang telah dirumuskan oleh ulama (usūliyyun). Jadi objek penelusuran kajian ilmu ushul fiqh ialah bagaimana untuk
mengistibatkan dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an maupun hadis. Untuk memperoleh
hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu memahami dalil-dalil tersebut agar
istinbat bersesuaian dengan tujuan dalil.
Sebagai contoh hadis mengenai pengambilan upah dari jasa berbekam:
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyar dari Muhammad, ia
berkata; telah menceritakan kepadaku Syu’bah dari Al Mughirah, ia berkata; saya
mendengar Ibnu Abu Nu’m, ia berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata;
Rasulullah saw melarang dari usaha tukang bekam, menjual anjing serta penyewaan
pejantan. ( HR An Nasa’i)
Hadis kedua:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan
kepada kami Al Walid bin Muslim dari Al Auza’i dari Yahya bin Katsir telah
menceritakan kepadaku Ibrahim bin Qaritz dari As Saib bin Yazid telah
menceritakan kepadaku Rafi’ bin Khudaij dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
“Hasil usaha jual beli anjing adalah buruk, hasil usaha pelacuran adalah buruk
dan hasil usaha bekam juga buruk. (HR Muslim)
Kedua hadis ini menyebutkan larangan mengambil upah dari jasa berbekam
akan tetapi terdapat hadis yang menyebutkan:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan
kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Humaid Ath Thawil dari Anas
ra bahwa dia ditanya mengenai upah tukang bekam, dia menjawab; “Abu Thaibah
pernah membekam Rasulullah saw, beliau memberinya dua sha’ makanan dan
menyarankan supaya meringankan beban hamba sahayanya, setelah itu beliau
bersabda: “Sebaik-baik sesuatu yang kalian gunakan untuk obat adalah bekam dan
terapi kayu gaharu”, beliau juga bersabda: “Dan janganlah kalian sakiti anak
kalian dengan memasukkan jari ke dalam mulut.” (HR
Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh
Abu Thaibah kemudian beliau memberinya upah. Meninjau dari segi redaksi antara
hadis pertama dan kedua bertentangan dengan hadis ketiga. Hadis pertama dan
kedua menjelaskan adanya larangan untuk mengambil keuntungan berbekam sekaligus
menyatakan perbuatan tersebut hukumnya haram. Para ulama memahami hadis
demikian dengan menggunakan pendekatan mutlāq dan muqayyad. Haramnnya kasb al-hajm dinilai suatu yang mutlāq, kemudian adanya batasan berupa qarīnah karena mengambil manfaat dari orang lain
dan Rasulullah mengerjakannya. Qarīnah merubah hukum kasb al-hajm tidak lagi haram akan tetapi makruh.[8]
b. Pemahaman Kontekstual
Dalam
pemahaman ini bermaksud untuk memahami segala hadis nabi dengan caraa
memperhatikan dan mengkaji berdasarkan peristiwa yang melatarbelakangi
munculnya hadis tersebut –memperhatikan asbāb al-wurūd-.
Urgensi
dengan memperhatikan konteks hadis apabila diikursertakan dalam memahami hadis
mukhtalif bertujuan untuk memahami maksud dalam hadis yang bertentangan antara
satu dengan yang lainnya sehingga tampak secara lahiriyah perbedaan konteks
kemudian dapat dihilangkan dan diketahui arah pemahamannya.[9]
Salah
satu contoh mengenai hadis tentang peminangan, ada hadis yang melarangnya namun
ada pula yang membolehkannya:
Hadis
Pertama:
“Dari
Nabi saw, beliau bersabda: “Janganlah seorang laki-laki meminang dari pinangan
saudaranya”. (HR Muslim)
Hadis
Kedua:
“Maka
Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Adapun Abu Jahm adalah laki-laki yang suka
memukul istrinya, sedangkan Mu’awiyah adalah laki-laki miskin yang tidak punya
harta, maka menikahlah dengan dengan Usamah bin Zaid, kata Fathimah: “Aku
kurang senang kepadanya”. Maka Rasulullah berkata lagi: “Nikahlah dengan
Usamah, kemudian Fathimah berkata: “Maka aku menikah denganya, Allah pun
memberkahi perkawinan kami dan akupun bahagia”. (HR
Muslim)
Hadis
kedua, membahas tentang Fathimah bin Qais yang telah ditalak oleh suaminya.
Setelah masa ‘iddahnya selesai, ia menyampaikan kepada Rasulullah bahwa
ia telah dipinang oleh dua orang sahabat yaitu Abu Jahm dan Mu’awiyah. Tentunya
ini bertentang dengan hadis yang pertama karena Fathimah telah dipinang oleh
dua orang sahabat kemudian Rasulullah meminangnya juga.
Menurut
imam al-Syafi’i hadis kedua tidak bertentangan dengan hadis pertama, karena
hadis pertama mengandung makna tersendiri serta berlaku pada situasi dan
kondisi tertentu. Sedangkan hadis kedua tidak dimaksudkan dalam keadaan hadis
pertama. Kedua hadis tersebut memiliki konteks yang berbeda. Al-Syafi’i
meyatakan hadis pertama, boleh jadi dari jawaban dari pertanyaan seorang
jawaban akan tetapi periwayat tidak mendengar sehingga tidak termuat dan
melatarbelakangi hadis tersebut. Terlebih al-Syafi’i menjelaskan asbab wurūdnya, Rasulullah ditanya mengenai meminang seorang
perempuan dan pinangan itu diterima kemudian dilanjutkan pada perkawinan.
Setelah itu datang laki-laki yang hendak meminangnya yang lebih menarik
hatinya, lalu perempuan tersebut berpaling dan meninggalkan pinangan pertama.
Sedangkan hadis kedua, al-Syafi’i menerangkan Fatimah sebenarnya belum menerima
pinangan tersebut seandainya ia telah menerimanya, tentulah Rasulullah tidak
meminangnya untuk Usamah.[10]
c. Pemahaman Korelatif
Pemahaman
ini bermaksud memperhatikan keterkaitan makna antara hadis satu dengan yang
lain yang dianggap mukhtalif dengan membahas permasalahan yang sama
sehingga pertentangan yang terlihat secara lahiriyah dapat dihilangkan. Dalam
menyelesaikan permasalahan ini tentunya tidak hanya satu atau dua hadis saja
akan tetapi terdapat banyak hadis yang saling berkaitan. Memahami hadis-hadis
tersebut dapat dilihat dengan menghubungkan keterkaitan makna sehingga dapat
diperoleh gambaran pertentangan yang dapat diselesaikan. Sebagai contoh hadis
tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan salat:
Hadis
pertama:
“Telah
menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Aban
telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu al ‘Aliyah dari Ibnu Abbas dia
berkata; “Beberapa orang yang telah mendapatkan keridlaan (Allah) memberi
kesaksian kepadaku, di antara mereka adalah Umar bin Khattab, dan memang yang
paling aku sukai di antara mereka adalah Umar, bahwa Nabi Allah saw bersabda;
“Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga matahri terbit, dan tidak ada
shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.” (HR. Abu Daud)
Dalam
hadis lain dinyatakan:
“Telah
menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya At Tujibi telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin
Musayyab dari Abu Hurairah, bahwa ketika Rasulullah saw kembali dari perang
Khaibar, beliau terus berjalan di malam hari, ketika beliau diserang kantuk,
maka beliau singgah. Beliau bersabda kepada Bilal “Hendaknya kamu yang
mengawasi tidur kami malam ini!.” Bilal shalat sekemampuan yang ditakdirkan,
sementara Rasulullah saw tidur. Begitu juga dengan para sahabatnya. Ketika
mendekati fajar, Bilal bersandar kepada unta tunggangannya, rupanya kedua mata
Bilal terasa berat hingga ketiduran dengan posisi bersandar kepada untanya. Di
pagi harinya Rasulullah saw belum juga bangun, demikian juga Bilal, dan tak
satupun dari sahabatnya yang bangun hingga mereka terbangun oleh sinar matahari
yang menyengat. Rasulullah saw akhirnya yang pertama-tama bangun. Rasulullah
saw merasa kaget dan menyeru: “Hei Bilal!” Bilal menjawab; “Wahai Rasulullah,
tadi nyawaku telah dipegang oleh Dzat yang memegang nyawamu, demi ayah dan
ibuku sebagai tebusanmu! Beliau lalu bersabda: “Mari tuntunlah hewan tunggangan
kalian.” Para sahabat pun menuntun hewan tunggangannya, sesaat Rasulullah saw
berwudhu”. Beliau lalu memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan iqamat
shalat. Setelah itu beliau mengimami shalat subuh bersama mereka. selesai
shalat, beliau bersabda: “Siapa yang terlupa shalat, lakukanlah ketika ingat,
sebab Allah telah berfirman “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” QS. Toha
14. Yunus berkata; sedangkan Ibnu Syihab membacanya dengan lidzdzikraa. (HR Muslim)
Dua
hadis diatas sama-sama diriwiyatkan oleh Imam al-Bukhary dalam kitab Sahih-nya.
Kedua hadis diatas tidak bisa langsung dipertemukan begitu saja sebelum dilihat
riwayat lain untuk menarik titik temu yang relevan pertentangan antar
keduanya. karena pada hadis pertama bermaksud mengenai shalat salat sunnat,
sedangkan hadis kedua dipahami sebagai salat wajib, jika lupa
mendapatkan rukhsah untuk mengerjakannya pada waktu ingat. Terdapat
hadis lain yang relevan menjelaskan persoalan yang terkait ialah: hadis Ummu
Salamah yang menerangkan bahwa: “Suatu hari Rasulullah pulang ke rumahku
setelah Ashar. Lalu beliau shalat dua raka’at, tak pernah aku melihat beliau
melakukan hal yang sama.” Ummu Salamah pun bertanya: engkau melakukan shalat
ini yang sebelum ini tak pernah aku melihatnya. Rasul menjawab: “Sebelum ini
aku senantiasa melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah zuhur. Namun tadi aku
tidak sempat melakukannya karena sibuk menerima delegasi dari Tamim dan urusan
sadaqah. Dua rakaat tadi ialah shala dua rakaat setelah zuhur”.
Ada
juga hadis yang diriwayatkan dari Qais juga dipandang memiliki korelasi dengan
dua hadis yang bertentangan di atas. Qais berkata: “pernah nabi memandangku
ketika aku melaksanakan shalat dua rakaat setelah subuh. Lantas beliaupun
bertanya: shalat apakah yang engkau kerjakan ini ya Qais? Tadi aku tak sempat
melakukan shalat sunnat fajar. Lalu beliau diam mendengarkan penjelasanku”.
Penjelasan dari Ummu Salamah dan Qais bahwa shalat yang dilarang pada hadis
pertama ialah shalat sunnah ghoiru muakkad, kemudian pada keterangan dua
hadis di atas mengindikasikan shalat sunnah muakkad yang boleh dilaksanakan.[11]
d. Menggunakan Cara Ta’wil
Memalingkan
lafaz dari makna lahiriyah kepada makna yang lain yang dikandung oleh lafaz.
Memalingkan lafaz ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendakinya.
Menurut al-Syafi’i metode ta’wil dianggap mampu untuk menyelesaikan
pertentangan antara satu hadis dengan yang lainnya.
Hadis
pertama:
“Telah
mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Sa’id dia berkata: Telah menceritkan
kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan Qatadah dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin
Khadij dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Laksanakanlah shalat Subuh sampai
hari agak terang.” (HR An-Nasa’i)
Hadis
Kedua
“Telah
mencertikan kepada kami Al Qa’nabi dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari ‘Amrah
binti Abdirrahman dari Aisyah ra bahwasannya dia berkata; Rasulullah saw shalat
Shubuh, sementara para wanita pergi ke masjid dengan menutupi wajah dan badan
mereka dengan kain dari bulu domba, mereka tidak diketahui karena masih gelap.”
(HR Abu Daud)
Hadis
pertama menerangkan waktu shalat subuh lebih baik dilaksanakan pada saat asfar,
yaitu subuh yang sudah mulai terang. Sedangkan hadis kedua menerangkan
shalat subuh dilaksanakan pada waktu galas, yaitu suasana ujung malam
dan datangnya cahaya subuh. Al-syafi’i menjelaskan ia justru tidak melihat
adanya pertentangan antara dua hadis tersebut. Beliau menakwilkan kata isfar
yang semula bermakna “waktu Shubuh yang sudah mulai terang mendekati
matahari terbit” kemudian menjadi “awal waktu subuh dengan terbitnya cahaya
fajar yang tampak di langit”. Dengan kata lain kata isfar dapat
ditakwilkan dengan kata galas pada hadis kedua. Hadis kedua dipandang
nilai lebih dari hadis pertama untuk dijadikan hujjah.[12]
2)
Melakukan naskh
al-hadīs
Karena sudah diketahui secara umum tentang naskh, maka kami rasa
tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai maksud dari metode ini. Dalam
hal ini, metode naskh dilakukan dengan cara mengetahui mana di antara
hadis mukhtalif itu yang datang lebih awal (mansūkh) dan mana yang datang belakangan (nāsikh). Dengan demikian, jelas kita ketahui
bahwa hadis yang datang belakangan akan menghapus hukum yang hadis yang datang
lebih awal, sehingga kita ketahui bahwa hadis tersebut tidaklah bertentangan.
Contohnya hadis tentang ziarah kubur yang diriwayatkan oleh Buraidah, bahwa
Nabi Saw bersabda:
قَدْ
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي
زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَة
Rasulullah Saw Bersabda: “sungguh aku telah melarang kalian ziarah
kubur, dan (sekarang) telah diizinkan kepada Muhammad untuk menziarahi kubur
ibunya, maka berziarahlah kalian. Sesungguhnya berziarah itu mengingatkan akan
akhirat”.[13]
Dari hadis di atas jelas bahwa hukum ziarah kubur pada mulanya adalah
haram karena kebiasaan orang Arab dulu ketika berada di kubur dan menangisi
orang yang wafat sering berlebihan, bahkan sampai menyakiti diri sendiri.
Kemudian Nabi membolehkan umatnya untuk berziarah kubur karena bisa
mengingatkan kepada akhirat. Dengan demikian jelas bahwa hukum yang pertama
sebenarnya telah dihapus oleh adanya pernyataan Nabi yang datang belakangan.
3) Melakukan
Tarjīh
Secara etimologi, tarjīh berarti tafdil: mengutamakan,
dan taqwiyah: menguatkan. Menurut istlah usuliyan adalah
اظهار
امتياز احد الدليلين المتماثلين بوصف يجعله اولى بالا عتبار من الأخر
“menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan
sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain”.
Menurut istilah ahli hadis adalah
جعل
الحديثين المتعارضين ولم يمكن الجمع بينهما راجحا والأخر مرجوحا بسبب من أسباب
الترجييح
“menjadikan rajih salah satu dari dua hadis yang berlawanan
yang tidak bisa dikompromikan, dan menjadikan yangs sebuah lagi marjuh. Dengan
karena ada sesuatu sebab dari sebab-sebab tarjīh”.[14]
Tarjīh adalah suatu satu upaya komparatif
untuk mengetahui sanad yang lebih kuat daripada hadis-hadis yang tampak
bertentangan. Sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama bahwa tarjīh
adalah menampakkan kelebihan antara dua dalil yang sama lalu di pilih yang
paling utama.[15]
Tarjīh merupakan cara terakhir yang mungkin dilakukan dalam
menyelesaikan hadis mukhtalif jika jalan taufik dan nasakh
mengalami kebuntuan. Maka hadis-hadis tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat
diamalkan (tawaqquf).
Tarjīh sebagai salah satu langkah penyelesaian
hadis-hadis mukhtalif yang tidak bersifat opsional, metode ini dilakukan
kapan saja jika terdapat hadis mukhtalif. Sebelum melakukan tarjīh,
harus didahulukan metode al-Jam’u. karena jika memilih dan menguatkan
hadis terlebih dahulu akan mengundang konsekoensi yang besar dan banyak
hadis-hadis yang terabaikan. Menurut Ibnu Daqiq al- ‘Id “tidak diragukan lagi
bahwa al-Jam’u (harus) didahulukan daripada tarjīh dan nasakh”.[16]
Adapun tarjīh
dkelompokkan dalam 4 kategori
Metode Tarjih
1.
Tarjih dengan
memperhatikan lafal khabar (khash atas ‘am)
2.
Tarjih dengan mendahulukan
lafaz hakiki atas lafaz majazi
3.
Tarjih dengan
mendahulukan qaul atas fi’il
4.
Tarjih dengan
mendahulukan kata yang mengandung larangan atas pembolehan
Contoh Penyelesaian
Hujjah digunakan sebagai data dan argumen untuk melemahkan suatu hadis yang
memiliki kehujjahan yang sedikit baik dari segi sanad maupun matan.
Dengan mengacu pada data, dapat diketahui antara hadis yang bertentangan
tersebut yang lebih rajih, sehingga dengan marjuh-nya yang lemah
yang menyebabkan pertentangan yang terjadi hilang, yakni ditinggalkan hadis
yang lemah.[17]
Contoh Hadis Mukhtalif
pada Matan
Hadis Pertama
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال: إذا جلس أحدكم على حاجته فلا يستقبل القبلة ولا
يسستدبرها (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW bersabda: apabila
seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan menghadap
dan membelakangi kiblat. (HR. Muslim)
Hadis kedua
عن ابن عمر رضي الله عنه قال
رقيت على بيتي أختي حفصة فرايت رسول الله عليه و سلم قاعدا لحجته مستقبل الشام
مستدبر القبلة (رواه مسلم)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA berkata; aku datang ke rumah saudari
perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW salam keadaan duduk untuk
buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi kiblat. (HR. Muslim).[18]
4) Melakukan Tawaquf
Penyelesaian dalam bentuk ini yaitu mendiamkan
antara dua hadis yang bertentangan atau tidak mengamalkan Hadis
kedunya untuk sementara waktu sampai terdapat dalil yang mengunggulkannya. Sebagian
ulama berpendapat bahwa konsekunsi dlam metode ini tidak adanya kedua hadis
tersebut yang bertentangan dn dikembalikan pada kaidah ushul fiqih yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala
sesuatu boleh dilakukan, smpai terdapat dalil yang mengharamkannya.
Sebagian ulama tidak menggunakan metode Tawaqquf dalam menyelesaikan
hadis-hadis mukhtalif. Hal ini sama saja dengan mendiamkan permasalahan
tanpa adanya pemecahannya. Karena mendiamkan suatu peristiwa adlah sebuah hal
yang sia-sia.[19]
Literatur:
1. Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif
al-Hadis.
2. Hamzah Abdullah al Malibary dalam kitabnya Hadis
Ma’lul Qawaid wa Dhawaabit.
3. Mukhtalaf
dalam Taqrib.
4. Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis.
5. Abu al-Fadhil Zainuddin Abdurrahim dalam
kitabnya At-Taqyid wa al-Idhah Syarah
Muqaddimah Ibnu Shalah.
6. Ibrahim bin Musa bin Ayyub dalam kitabnya Asy-Syadza
al-Fayyah min Ulum ibnu Shalah Rahimahullah Ta’ala.
7. Imam Syafi’i dalam kitabya Ikhtilaf al-Hadis.
8. Iman Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm.
9. Abdul Malik Ghazali dalam kitabnya Aqliyyah Ahl
al-Hadis: Manhaj ‘Aqliy li Ibnu Qutaibah Al Daynury Fi Fiqh Mukhtalif al-Hadis.
10. Pdf skripsi oleh Aswar yang berjudul Metode
Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadis (Telaah dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis
karya Ibu Qutaibah.
Daftar Pustaka
al-Tirmidzi, Jami’ al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya al-Turats
al-‘Arabi, t.th.
Asror, Miftahul. Membedah Hadis Nabi SAW. Madiun: Jaya Star
Nine, 2015.
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut
al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin XVII, no. 2 (Juli 2011).
Fathoni, Muhammad. Metode Tarjih Dalam
Hadits. Dalam https://tonnyparadizza.blogspot.com
Juned, Daniel. Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu
Hadis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.
Khariri. Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Purwokerto:
STAIN Purwokerto Press, 2009.
Khon, Abdul Majid. Takhrīj dan Metode
Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.
Mahmud, Thahhan. Taisīr Mushthalah al-Hadis. Surabaya: Toko Kitab Hidayah, t.t.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi.
Yogyakarta: Idea Press, 2016.
Noorhidayati, Salamah. ‘Ilmu Mukthalif Al-Hadis : Kajian Metodologis
dan Praktis. Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016.
[18]Muhammad Fathoni, “Metode Tarjih Dalam Hadits” dalam https://tonnyparadizza.blogspot.com,
diakses pada tanggal 28 November 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar