Kamis, 04 Oktober 2018

ILMU MATAN HADIS

RESPON PAPER UAS
Nama               : Hayatun Thaibah (16551006)
Jurusan            : Ilmu Hadis A

ASBAB AL WURUD HADIS
Disiplin ilmu yang satu ini menurut Hasbi Ash-siddiqiey mendefinisikannya dengan
عِلمُ يعرَف به أسباب  ورود الحديث و مناسباته
  “ilmu yang menerangkan sebab-sebab datangnya hadis dan beberapa hal-hal yang relevan dengannya”
1.      Dari pengertian diatas, untuk mengetahui cara mencari asbabbul wurud tentunya memiliki dua cari yaitu hadis itu sendiri dan hadis yang lain. mengapa harus dengan hadis yang lain? karena untuk mengetahui sebab-sebab datangnya hadis akan lebih terlihat dengan meneliti hadis yang lain yang memiliki sebab yang  sama. Sebagai contoh hadis yang Sebab Hadits Lain
Ini dapat ditemukan dalam hadits Nabi yang sulit dipahami oleh sementara sahabat, sehingga melalui hadits lain Rasul menjelaskan atau menjawab kemusykilan itu. Seperti hadis yang dikeluarkan oleh Anas bahwa 
 
إن  ملائكة تنطق على ألسـنة بني ادٓم في المرء من الخير والشر
“Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang” 
 Hadits yang bentuk redaksinya seperti ini sangat sulit dipahami, oleh sebab itu muncullah hadits lain yang menjelaskan kemusykilan itu yaitu dari Anas:
           
عن أنس أنه صلى ﷲ عليه وسلم لما مر بجنازة فاثٔنوا عليها خيرا فقال: وجبت وجبت وجبت. ومر باخٔرى فاثٔنوا عليها شرا فقال: وجبت وجبت وجبت

“Tatkala ada prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para sahabat yang ada waktu itu memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Rasulpun berkata: ya, mesti demikian, ya, mesti demikian, ya, mesti demikian”. Lalu lewat pula jenazah yang lain dan para sahabat membicarakan kejelekan jenazah itu. Rasulpun kemudian berkata: “ya, mesti demikian, ya, mesti demikian, ya, mesti demikian”. 
Mendengar Rasul seperti itu, para sahabat bertanya: “ya Rasulullah, apa makna dari ucapanmu tadi”, maka Rasulpun menjawab: “Memang benar ya Abu Bakar, sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang berbicara tentang kebaikan dan keburukan seseorang melalui lisan anak-cucu Adam”.
Demikian fungsi dari asbabul wurud untuk mencari hadis lain yang berkaitan. Karena untuk memahami teks diperlukan hadis-hadis yang lain untuk sama-sama diteliti sebab-sebab datangnya sebuah hadis.
 Literatur
1.      Asbabu Wurud al-Hadis karya Abu Hafs al-Ukbari (w.339 H)
2.      Asbabu Wurud al-Hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jabari
3.      Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh yahya Ismail Ahmad
4.      Al-Bayan wa at-Ta;rif karya Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimasyqi  (w.1110 H).
5.      Asbab Wurud alHadits (Proses Lahirnya Sebuah Hadits) karya As Syuyuthi
6.      Al Wasith fi ‘Ulum wa Mushthalah al Hadis, karya Muhammad Abu Syuhbah
7.      Sejarah Ilmu Hadis karya Hasbi As Shiddiqy
8.      Asbabul Wurud Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual karya Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim
9.      Fii Ulum Al Hadis Karya Nuruddin ‘Atar
10.  Takhrij dan Metode memahami hadis karya Abdul Majid Khon.

ILMU TAWARIKH AL MUTUN
Ilmu tawarikh al Mutun merupakan ilmu yang membahas tentang sejarah matan hadis nabi. Ditinjau dari aspek kebahasaannya, kata Ilmu Tawarikh al Mutun terdiri dari tiga kata yang berbeda maknanya, yaitu Ilmu, al Tawarikh dan al Mutun. Kata Ilmu berarti pengetahuan, sedangkan Tawarikh merupakan bentuk plural dari kata Tarikh yang secara etimologinya berarti sejarah. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai asal dari kata Tawarikh atau Tarikh tersebut. Seperti pendapat sejalan yang dikemukakan oleh Syaikh al Razi[1] dan Ibnu Mandzur[2] dalam masing-masing kitabnya, mengatakan bahwa Tawarikh  atau Tarikh adalah تعريف الوقت (mengenal atau mengetahui waktu dan kejadian). Sedangkan secara terminologi menurtu bahasa Yunani berarti Istoria yang berarti pembahasan terhadap sesuatu sesuai dengan kelayakan atau ketentuan umum untuk mengetahui kisah hidup seseorang, asal usul suatu daerah, berdiri atau merdekanya suatu bangsa, dan lain sebagainya.[3]
      Selanjutnya kata al Mutun  juga merupakan bentuk plural dari kata al Matan secara bahasa yang berarti menampakkan sesuatu atau terus terang.[4] Jika dikaitkan dengan konteks Ilmu Hadis, maka matan berarti redaksi suatu hadis yang menjadi salah satu pusat penelitian dan pendukung pengertiannya.[5] Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan secara etimologi bahwa Ilmu Tawarikh al Mutun merupakan ilmu yang membahas sejarah sebuah matan hadis.
Kata-kata yang digarisbawahi merupakan ciri-ciri sejarah datangnya matan hadis, baik hadis fi’li maupun hadis qauli.
1.      Hadis yang menggunakan Ungkapan Pertama Kali
2.      Hadis yang Menggunakan ungkapan Terjadinya Sesuatu Sebelum Sesuatu
3.      Hadis yang Menggunakan Ungkapan Sesudah Sesuatu
4.      Hadis yang menggunakan Ungkapan Akhir dari Dua Perkara
5.      Hadis yang Menggunakan Ungkapan Terjadinya Sesuatu pada Bulan Tertentu
6.      Hadis yang Menggunakan Ungkapan Tahun Tertentu

Problem yang sering dijumpai adalah sulitnya membedakan antara Ilmu Tarikh Mutun dengan Asbab al Wurud, dan Nasikh Mansukh dari Segi Defenisi Masing-Masingnya. Kebanyakan merasa kebingungan untuk membedakannya.
1)      Contoh Problematika Ilmu Tarikh al Mutun: Hukum Bekam bagi Orang yang Berpuasa[6]
Dalam sebuah hadits mengenai pengobatan dengan bekam, Rasulullah SAW menerangkan bahwa seseorang yang berpuasa, lalu meminta untuk dibekam dan melakukannya, maka puasa yang ia lakukan akan menjadi batal. Haditsnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah S AW bersabda: “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam”. (H.R. Ahmad, juz 14, hlm. 373, no. 8768)
Imam Ahmad berkomentar di dalam bukunya bahwa hadits ini merupakan riwayat yang sahih. Bahkan telah banyak kalangan ulama yang mengakui kesahihannya. Akan tetapi, hukum yang terdapat di dalam hadits ini telah dinasakh oleh Nabi sendiri.[7] Hal itu dikarenakan terdapat hadits lain yang dari segi isi (matn)-nya bertentangan dengan hadits di atas, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i sebagai berikut:
عن أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: «رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَرَخَّصَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ»
Dari Abi Sa’id, dia berkata, “Nabi SAW memberi keringanan (memperbolehkan) berciuman bagi orang yang berpuasa, juga memperbolehkan berbekam bagi orang yang berpuasa.” (H.R. al-Nasa’i, juz 3, hlm. 345, no. 3224)
Imam al-Syafi’i[8] menerangkan bahwa hadits di atas menjadi nasikh (pengganti) bagi hadits yang sebelumnya. Dan hal itu telah terbukti dengan sangat jelas berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Syidad, bahwa suatu ketika di masa pembebasan kota Makkah (fathu Makkah) ia pernah bersama dengan Nabi. Saat itu Nabi melihat ada seseorang yang sedang berbekam, padahal ia sedang berpuasa. Maka beliau bersabda: “Telah batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam”. Padahal dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dinyatakan bahwa: “Rasulullah SAW pernah berbekam padahal ia dalam keadaan berpuasa.” Maka jelaslah bahwa riwayat yang pertama itu telah dinasakh oleh riwayat yang kedua, karena riwayat yang pertama itu terjadi pada masa fath Makkah (yaitu pada tahun ke-8 Hijriyyah), sedangkan hadits yang kedua muncul saat peristiwa haji wada’ (yaitu pada tahun ke-10 Hijriyyah).[9]

Literatur
1.      Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits karya Nur al-Din
2.      Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal karya Ahmad Ibnu Hanbal
3.      Mukhtar al Shihah karya Al Razi
4.      Lisan al ‘Arab karya Ibnu Mandzur
5.      Takhrij dan Metode Memahami Hadis karya Abdul Majid Khon
6.      Ikhtisar Musthalahul Hadis karya Drs. Fatchur Rahman
7.      Muqaddimah Ibn as-Shalah wa Mahasin al-Isthilah karya Ibn As-Shalah dan al-Bulqini,

 ILMU GHARIB AL-HADIS
عِلْمٌ يُعَرِّفُ بِهِ وَقَعَ فِي مَتْنِ الحَدِيْثِ منْ لَفْظِهِ غَامِضَةٍ بَعِيْدَةِ مِنَ الفَهْمِ لِقِلَّةِ اسْتِعْماَلِهاَ
Ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang terjadi pada matan hadis dari lafaz yang samar dan sulit dipahami karena tidak banyak penggunaannya.[10]
Melihat dari pengertiannya gharib adalah kata-kata yang asing yang terdapat pada matan hadis. Keasingan itu terjadi karena tidak banyak dipakai oleh orang arab dan lemahnya kemampuan dalam  memahami bahasa arab. Oleh sebab itu penting untuk mempelajari Ilmu Gharib al hadis untuk mengetahui makna kata asing  pada teks hadis . sehingga dalam penyampaian  arti tidak keliru serta dapat diamalkan sebagaimana hadis maqbul.
Dalam memahami hadis gharib pada matan ada beberapa metode, yaitu:
1.                  Menggunakan hadis lain yang bertema sama
2.                  Menggunakan Penjelasan Sahabat
3.                  Menggunakan Penjalasan Periwayat atau Selain Sahabat
Biasanya hadis gharib terjadi pada hadis-hadis mustsyabihat, maka dalma menyelesaikannya dengan beberapa metode:
a. Metode Makna Hakikat
metode ini banyak digunakan oleh mayoritas ulama salaf. Mereka mengartikan hadis-hadis mutasyabihat dengan apa adanya. Seperti yadullah diartikan  tangan Allah. Allah  mempunyai tanga  yang tidak sama dengan tangan manusia.
b. metode Makna Majazi
metode ini banyak dipakai oleh ulama khalaf. Mereka memberikan interpretasi yang layak bagi Allah unutk menyelamatkan akidah masyarakat awam agar tidak beranggapan bahwa Allah mempunyai tangan yang menyerupai makhlukNya. Hadis tentang sifat Allah Swt yang menyerupai sifat makhluk-nya diberikan interpretasi yang sesuai dengan kaidah kebahasan. Misalnya, tangan Allah diartikan kekuasaan-Nya karena timbulnya kekuasaan pada umumnya dari tangan (majas mursal).
Contoh hadis Mutasyabihat
عن ابي موسى عن النبي صلى الله عليه و سلم قال إنّ الله عز و جلّ يبسط يده بالليل ليتوب مسيء النهار و يبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل حتي تطلع الشمس من مغربها
 Dari Abu Musa dari Nabi Saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk memnerima tobat orang yang berbuat buruk pada siang hari dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat orang berbuat buruk pada malam hari hingga terbit matahari dari barat.” (HR. Muslim)

 Literatur
1.      Al-Fa’iq fi Gharib al-Hadis karya Abu al-Qosim Jarullah Mahmud bin Umar Al-Zamakhsyari
2.      Al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Asar karya Majduddin Abi al-Sa’adah Al-Mubarak bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jaza’iri
3.      al-Durr al-Natsir Talkhish Nihayah Ibn al-Atsir karya As Syuyuthi
4.      Tafsir Gharib ma fi al-Shahihain al-Bukhari wa Muslim karya .  Muhammad bin Abi Nashr Futuh bin Abdillah bin Humaid bin Yashil Al-Azdi Al-Humaidi
5.      al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa Al-Atsar karya Abu al-Sa’adah al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari
6.      , Gharib al-Hadis, karya Abdullah bin Muslamin bin Qutaibah al-Danuri
7.      al-Hadis wa al-Muhaddisun: Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-sunnah an-Nabawiyah karyaMuhammad Abu Zahrah
8.      Tadrib ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi karya Jalaluddin As Syuyuthi
9.      Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah; Nasy’Atuhu wa Tathawwaruhu min al-Qarni al-awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri karya Az Zahrani
10.  Manhaj an-Naqd fii Ulum al-Hadis karya Nuruddin

‘Ilmu Musykil wa Mukhtalif al-Hadis
Ilmu musykil merupakan disiplin ilmu yang mengkaji hadis-hadis yang secara zahir bertentangan dengan al-Qur’an, fakta sejarah, fakta ilmiyah. Sedangkan ilmu Mukhtalif adalah disiplin ilmu yang mengkaji hadis-hadis yang secara zhahir bertentangan dengan hadis yang lain. jadi, ilmu Musykil dan Mukhtalif merupakan disiplin ilmu yan berbeda namun sering disamakan menurut Achmad Dahlan. Beliau memberikan pengertian keduanya dengan redaksi berikut:
هو ما تعارض ظاهره مع القواعد فأوهم معنى باطلا أو تعارض مع نص شرعي آخر[11]
            Hadis yang secara zahir bertentangan dengan kaidah-kaidah, maka hadis tersebut dirasa batil, atau hadis yang bertentangan dengan nash syar’i (al-Qur'an atau hadis) yang lainnya.

Padahal jika diteliti lebih mendalam ada perbedaan mengenai keduanya. Banyak ulama membedakan tentang dua pengertian tersebut. Seperti menyangkut asal kata dan terminologi. Secara bahasa, kata al-musykil berasal dari kata “syakala” yang berarti (perkara) yang samar, yang susah.[12] Dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor mengartikan kata syakala dengan iltabasa yang berarti tumpang tindih, campur aduk, atau tidak jelas.[13] Secara terminologi, Dr. Fathuddin al-Bayanuni sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Dahlan mendefinisikannya sebagai: “Hadis-hadis shahih yang secara zahir bertentangan dengan dalil lain (al-Qur'an dan al-Sunnah), atau kaidah syara’ dan akal, atau sejarah dan fakta ilmiah”.[14] Sedangkan Muhktalif Sedangkan pengertian mukhtalif, secara bahasa, merupakan kata kerja (ism fā‘il) dari kata ikhtalafa yang berarti kontradiktif atau berlawanan.[15] Maksudnya, mukhtalif al-hadis adalah hadis-hadis yang secara tersurat memiliki makna yang bertentangan satu sama lain. Sedangkan secara istilah Imam Nawawi mendefinisikan mukhtalif al-hadis dengan redaksi berikut:
مختلف الحديث هو أن يأتي حديثان متضادان فى المعني ظاهرا فيوفق بينهما أو يرجح أحدهما
Mukhtalif al-hadis adalah adanya dua hadis yang bertentangan maknanya secara zahir, kemudian dikompromikan antara keduanya atau ditarjīh salah satunya.[16]

Dapat disimpulkan bahwa hadis Musykil dan hadis Mukhtalif berbeda dalam segi pertentangannnya, hadis  Musykil dengan Al-Qur’an, fakta sejarah dan lain-lain sedangkan hadis Mukhtalif dengan hadis yang lainnya.
Adapun hadis bisa dikategorikan sebagai hadis musykil jika mengenai keadaan sebagai berikut: hadis shahih, secara zhahir tidak jelas, hal yang mustahil, bertentangan dengan (kaidah, akal, nash lain, fakta ilmiah, fakta sejarah .[17]
Salah satu contoh hadis musykil adalah larangan Nabi untuk makan menggunakan tangan kiri, karena setan makan dengan tangan kiri. Beliau bersabda:
لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ[18]
            Sepintas hadis ini bertentangan dengan akal sebab setan bersifat roh, lalu bagaimana cara makan dan minum. Abu Muhammad menjelaskan bahwa Allah menciptakan sesuatu dengan kebalikannya sebagaimana sifat buruk yang disandarkan dengan setan .[19] Dalam hadis ini terkandung makna haqiqi (setan seperti manusia) dan ta’wil (memakan sesuatu yang dikehendaki dan disenangi setan) .[20]   
Sedangkan hadis Mukhtalif mengenai hadis yang kontradiktif (secara zhahir, pada hadis yang shahih atau hasan) dan kemungkinan kompromi .[21]
            Hadis Mukhtalif  bisa diselesaikan dengan 4 cara, Dalam Taisir Mushthalah al-Hadis, Mahmud Thahhan menjelaskan bahwa metode penyelesaian hadis mukhtalif dalam dilakukan dengan empat cara, yaitu: (1) melakukan kompromi, (2) naskh al-hadis, (3) melakukan tarjih, dan (4) tawaqquf.[22]
 Empat cara diatas secara berurutan dari satu hingga empat, jka kompromi tidak dapat dilakukan maka nasakh menjadi metode dalam penyelesaian hadis Mukhtalif sampai hadis tersebut tidak bisa diselsaikan terpaksa mengambil metode terakhir yaitu tawaquf yakni mendiamkan.
Ada beberapa kitab yang membahas tentang disiplin ilmu Musykil dan Mukhtalif sebagai berikut:
Literatur:
1.      Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.
2.      Hamzah Abdullah al Malibary dalam kitabnya Hadis Ma’lul Qawaid wa Dhawaabit.
3.      Mukhtalaf  dalam Taqrib.
4.      Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis.
5.      Abu al-Fadhil Zainuddin Abdurrahim dalam kitabnya  At-Taqyid wa al-Idhah Syarah Muqaddimah Ibnu Shalah.
6.      Ibrahim bin Musa bin Ayyub dalam kitabnya Asy-Syadza al-Fayyah min Ulum ibnu Shalah Rahimahullah Ta’ala.
7.      Imam Syafi’i dalam kitabya Ikhtilaf al-Hadis.
8.      Iman Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm.
9.      Abdul Malik Ghazali dalam kitabnya Aqliyyah Ahl al-Hadis: Manhaj ‘Aqliy li Ibnu Qutaibah Al Daynury Fi Fiqh Mukhtalif al-Hadis.
10.  Pdf skripsi oleh Aswar yang berjudul Metode Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadis (Telaah dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Ibu Qutaibah.


Ilmu Nasikh wa al-Mansukh fii al-Hadis
           
      Dalam kitab ilmu mukhtalif al-Hadis karya Dr.Salamah Noorhidayati, M.Ag, ilmu nasikh wa al-Mansukh  dalam perspektif ilmu hadist dimaknai sebagai berikut :
هو العلم الذي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التي لا يمكن التوفيق بينها من حيث الحكم
Yaitu ilmu yang membahas hadist-hadist yang bertentangan dari segi hukumnya yang tidak mungkin untuk dikompromikan.
 Dapat disimpulkan bwa ilmu ini membatalkan atau menghapus  dalil hukum syar’i yang lama dengan adanya hukum dalil yang baru.
Tentu dalam pembahasan kali ini akan menimbulkan berbagai pertanyaan bagaimana mengetahui matan hadis tersebut di nasikh dan mansukh, berikut dengan:
a.       Penjelasan rasulullah
b.      Melalui perkataan sahabat
 Akan tetapi,  yang menjadi pertimbangan bahwa nabi sering tidak menjelaskan secara umum namun akan disimpulkan oleh para sahabat melaluii sejarah, melalui dalil ijma’. Namun, dalam perihal ijma’, ulama tidak mengatakan bahwa hadis pertama nasikh, akan tetapi mereka mengambil kesepakatan berdasarkan dalil yang kuat tanpa menghapus yang pertama.

Adapun syarat-syarat Nasikh sebagai berikut:
Menurut al-Hazimi menyebutkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pemberlakuan nasikh, diantaranya :
a.       Dalil mansukh datang lebih awal daripada dalil nasikh
b.      Dalil nasikh dan mansukh bukan dalil akad dan dalil adat, melainkan dalil syar’i
c.       Menurut sebagian ulama Dalil nasikh tidak boleh lebih lemah dari dalil mansukh. Salah satunya al-Hazimi, ia mengatakan bahwa hukum al-Quran tidak boleh di nasakh oleh hadis.
d.      Contoh An-Naskh dan al-Mansukh
حديث بريدة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبورفزوروها ونهيتكم عن لحوم اللأضاحى فوق ثلاث فأمسكوا ما بدا لكم ونهيتكم عن النبيذ الا في سقاء فاشربوا في الأسقية كلها ولا تشربوا مسكرا.

 Dari ibn Buraidah dari bapaknya ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan qurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian membuat anggur selain dalam kirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan kamu minum yang memabukkan.[23]

Dari hadist di atas dapat kita lihat bahwasanya pada mulanya Rasulullah saw. melarang umatnya untuk menziarahi kubur, kemudian pada hadist selanjutnya nabi memerintahkan untuk menziarahi kubur. Di sini terlihat bahwa dalil pertama terhapus oleh dalil kedua. Hal ini disebabkan karena beberapa hal. Salah satunya karena perubahan perilaku masyarakat saat itu. mulanya terlalu meratapi dan menjadikan kuburan sebagai tempat sakral dalam peribadatan. Seiring berlalunya waktu, perilaku mereka mulai membaik dan mampu mengontrol emosi sehingga tidak terlalu berlebihan lagi dalam meratapi, juga dengan hadirnya islam  mereka mulai meninggalkan tempat-tempat yang mereka anggap “sakral” tersebut.

Literatur
1.      Qatadah ibn Da’amah as-Sadusi menulis kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
2.      Abu Bakr Ahmad ibn Muhammad al-Asram menulis kitab nasikh al-Hadist wa mansukhihi.
3.      Abu Bakr Muhammad Ibn Musa al-Hazimi menulis kitab al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukhi min al-Asaar.
4.      Izzuddin Husai, Mukhtassar an-Naskh wa al-Mansukh fii hadist rasulillah.
5.      Salamah Noor Hidayanti, Mukhtassar an-Naskh wa al-Mansukh fii hadis rasulillah
6.      Abu Bakr Muhammad Ibn Musa al-Hazimi menulis kitab al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukhi min al-Asaar.
7.      Nasikh al-Hadist wa mansukhihi ikarya imam Abi Bakr bin Muhammad bin Haani al-Atrom. Berjumlah 275 halaman pdf.
8.      Kitab al-I’tibar fii bayani An-Nasikh wa al-Mansukh min al-Asar karya imam al-Hafidz al-Bari’i al-‘Alamah Abi Bakr Muhammad bin Musa bin Usman bin Hazim al-Hamdani. Berjumlah 256 halaman, pdf. Yang membahas tentang nasikh wa mansukh hadist.
9.      Kitab Manhaj al-Naqdi fi Ulum al-Hadist karya Dr. Nur al-Din A’tar dalam aplikasi Maktabah Syamilah.
10.  Kitab al-I’lam al-‘Alam ba’da Rushukhihi bi an-Nasikh al-Hadist  wa mansukhih dalam aplikasi Maktabah Syamilah.
11.  Kitab Taisir Mushtolah al-Hadist karya Mahmud Tohan dalam pembahasan nasih wa mansukh.



KAIDAH KESHAHIHAH HADIS
Kaidah keshahihan matan meliputi mayor dan minor. kaidah mayor berisi keterhindaran dari ‘illat dan syudzudz. Sedangkan kaidah minor merupakan bentuk perincian dari kaidah mayor sebelumnya, baik rincian dari keterhindaran dari ‘illat maupun syudzudz. Salah satu contoh kaidah minor adalah tidak bertentangan dengan akal sehat dan fakta sejarah  
             Kaidah mayor meliputi dua hal terhindar dari syadz danTerhidar dari ‘illat
Dua hal tersebut  untuk jelasnya yaitu ada beberapa jenis yaitu:
1.      Sisipan teks hadis
2.      Pembalikkan teks hadis
3.      Memiliki kualitas sama dan tidak bisa diunggulkan salah satunya
4.       Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi al-matn)

Masing-masing dari empat tersebut merupakan syadz dan illat yang menyebabkan hadis tersebut diragukan keshahihannya kecuali dengan meneliti lebih mendalam matan hadis tersebut.
Ulama memiliki beberapa cara untuk mengungkapkan ‘illat pada matan hadis yaitu dengan:
1.      Mengumpulkan hadis yang semakna serta mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui illat yang terdapat di dalamnya. Jika seorang perawi bertentangan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih tsiqah darinya, maka riwayat perawi tersebut dinilai ma’lul.
2.      Jika hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat dalam catatannya (kitabnya), atau bahkan hadis yang diriwayatkannya itu ternyata tidak terdapat dalam kitabnya, sehingga oleh karenanya riwayat yang bertentangan tersebut dianggap ma’lul.
3.      Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa dia tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.
4.      Seorang perawi tidak mendengar hadis dari gurunya secara langsung.
5.      Hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tsiqah.
6.      Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang, namun kemudian datang seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka kenal itu, maka hadis yang dikemukakan itu dianggap memiliki cacat.
7.      Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah.

al-A‘zhami  meyakini bahwa kaedah kesahihan matan hadis telah ada sejak zaman dahulut. metode ini tidak dapat digantikan oleh metode apapun, pemakaian metode yang lain justru akan mengakibatkan kesalahan. Kaidah kesahihan matan hadis yang sudah ada selama ini adalah metode muhaddithin mutaqaddimin dan muhaddithin muta’akhkhirin. Metode muhaddithin mutaqaddimin meliputi metode muqaranah dan mu‘aradah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi Saw terutama ‘Aishah r.a. dan metode al-Taufiq yang dipelopori oleh Imam al-Syafi’i (w. 204 H.)
1.      Metode Muqaranah dan Mu‘aradhah
Tradisi kaedah kesahihan matan hadis di lingkungan sahabat, selain menerapkan kaidah muqaranah (perbandingan) antar riwayat, juga menerapkan kaidah mu‘aradah(pencocokkan konsep)
2.      Metode al-Taufiq
Yang dimaksud dengan  metode al-Taufiq di sini adalah metode menyatukan antara beberapa dalil yang tampak bertentangan, baik dengan cara al-jam‘u, al-naskh, al-tarjih atau al-tawaqquf.
3. Metode Kontra ‘Illat dan Syadz
      Kaidah keshahihan matan hadis tidak terpaku pada metode zaman klasik. Sekarang banyak metode-metode baru yang berusaha mengungkapkan keshahhihan matan hadis seperti pandangan Juynboll dengan metode common link. Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari seorang yang berwenang dan lalu ia menyebarkannya kepada sejumlah murid yang kebanyakan mereka menyebarkannya lagi kepada dua atau lebih muridnya
Langkah-langkah metode kaedah kesahihan matan menurut common link adalah sebagai berikut:
 1. Mencari matan yang sejalan (mempunyai tema yang sama);
2. Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan.
3. Menentukan common link tertua. Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa tokoh common link tertua, yang dianggap paling bertanggung jawab atas penyebaran suatu hadis.
4. Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadis yang sejalan. Bagian teks yang sama itulah menurut Juynboll yang benar-benar otentik.
 .  
Metode kedua Isnad-Cum-Matan

1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan sanad;
 2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan hadis mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya, yaitu
 3. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan  dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya. Langkah ini juga  memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari   hadis yang dibicarakan;
4. Membandingkan hasil analisis isnad dan matan.
 Selanjutnya pendekatan dalam pengembangan kshahhihan matan hadis ada beberapa hal
1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan sanad;
2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan hadis mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya, yaitu
3. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya. Langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadis yang dibicarakan;
4. Membandingkan hasil analisis isnad dan matan.

Literatur
1.      Kitab al-‘Ilal karya Ibn al-Madini
2.      ‘Ilal al-Hadis karya Ibn Abi Hatim
3.      Al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal karya Ahmad bin Hanbal
4.      Al-‘Ilal al-Kabir dan al-‘Ilal as-Shaghir karya al-Tirmidzi
Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadits an-Nabawiyyah karya al-Daruquthni
5.      Metodologi Kritik Matan Hadis karya Shalahuddin Ibnu Ahmad Adhabi
6.      Kesahihan Sanad dan Matan Hadis karya Nasir Akir
7.      , Kaedah Kesahihan Matan Hadis: Studi Komparatif Antara al-A’zhami  dan G.H.A Jaynboll karya Masrukhin Muhsin
8.      al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl karya Muslim bin Hajjaj
9.      Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis karya Salamah Noor Hidayati
10.  Taysir Musthalah al-Hadis karya Mahmud Thahan
11.  Al-Jami’ al-Kabir/Sunan Tirmidzi karya Muhammad bin Isa Tirmidzi

 Ilmu ‘Ilal Hadis

Ilal berarti ada penyakit yang terdapat pada sanad dan matan. Pada pembahasan kali ini ilal terdapat pada matan hadis yang juga mempengaruhi keshahihan suatu hadis.
Menurut istilah ahli hadis, ‘illal adalah:
سبب غامض يقدح في الحديث مع ظهور السلامة من
Sebab yang tersembunyi yang menyebabkan tercecat hadis, padahal secara dlahir hadis itu selamat dari sebab tersebut. [24] Menurut Ibn Shalah dan al-Nawawi, istilah ‘Illal dalam hadis dapat diartikan sebagai sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaan ‘Illal dalam hadis dapat merubah kedudukan hadis, yang pada lahiriahnya adalah shahih menjadi tidak shahih.

Para ulama sangat mementingkan ilmu ‘illal al-hadis. Urgensinya telah dijelaskan oleh Abu Abdullah al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab ‘ilmu Illalul Hadis, yaitu:
“Ilmu yang berdiri sendiri selain shahih, dla’if, jarh, dan ta’dil. Sesungguhnya dia menerangkan ‘illat pada hadis yang tidak masuk kedalam kategori jarh, karena hadis majruh adalah hadis yang gugur dan tidak terpakai. ’illat hadis banyak terdapat dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang dipercaya, yaitu orang yang menceritakan suatu hadis yang sebenarnya mempunyai ‘ilat dan ‘illat itu tersembunyi bagi mereka. Karena ‘illat tersebut, hadis itu menjadi hadis yang ma’lul. Hujjah dalam menetapkan ‘illat-‘illat hadis ialah: hafalan yang sempurna,paham yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup.”[25]
Problematika yang terjadi pada ‘illal matan hadis tidak termasuk pada jarh karena hadis majruh adalah hadis yang gugur dan tidak terpakai. Sedangkan hadis ‘illat kebanyakan terdapat pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya. Sehingga untuk mengetahui ‘illat pada hadis sangat sulit.
 ‘Illal pada matan. Contohnya: hadis yang diriwayatkan oleh Ibrahim ibn Thohman, dari Hisyam bin Hasan, dari Abi Hurairah dalam sabdanya Nabi saw:
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: ذَكَرَ أَبِي حَدِيثًا رَوَاهُ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ النَّيْسَابُورِيِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَسُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَغْسِلْ كَفَّيْهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يَجْعَلَهُمَا فِي الإِنَاءِ، فَإِنَّهُ لا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ، ثُمَّ لِيَغْتَرِفْ بِيَمِينِهِ مِنْ إِنَائِهِ، ثُمَّ لِيَصُبَّ عَلَى شِمَالِهِ فَلْيَغْسِلْ مَقْعَدَتَهُ ". قَالَ أَبِي: يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ: " ثُمَّ لِيَغْتَرِفْ بِيَمِينِهِ " إِلَى آخِرِ الْحَدِيثِ مِنْ كَلامِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ، فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ يَصِلُ كَلامَهُ بِالْحَدِيثِ فَلا يُمَيِّزُهُ الْمُسْتَمِعُ
 Untuk mengetahui ‘illal hadis terlebih dahulu menelusuri dari berbagai buku induk hadis dengan sanad yang lengkap. Setelah itu bandingkan antara satu dengan lainnya. Dilihat pula perbedaan para periwayat, seperti ke-dhabith-an dan keteguhan mereka. Jika ada cacat yang tersimpan, berarti hadis mu’allal.[26]
Karena penelitian ‘illah hadis yang disinggung oleh salah satu unsur kaidah keshahihan sanad hadis itu sulit dilakukan, maka Ibn ak-Madini (w. 234 H/849 M) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti ‘illat hadis, maka langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah:
1. Seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan memang memiliki mutabi’ ataupun syahid.
2. Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah hadis.[27]
 Karena penelitian ‘illah hadis yang disinggung oleh salah satu unsur kaidah keshahihan sanad hadis itu sulit dilakukan, maka Ibn ak-Madini (w. 234 H/849 M) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti ‘illat hadis, maka langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah:
1. Seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan memang memiliki mutabi’ ataupun syahid.
2. Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah hadis.[28]

Literatur
1.      ‘Ilal wa ma’rifatu ar-Rijal karya Ahmad bin Muhammad bin Hambal yang diterbitkan pada tahun 1408 H-1988 M di Beirut oleh Maktabah al-Islami.
2.      Ta’liqah ‘ala al-‘Ilal li ibn Abi Hatim karya Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul Hadi al-Muqodasi
3.      ‘Ilal Ahadis fi Shohih Muslim karya Abu Fadl Muhammad bin Abi Husein ibn Ammar asy-Syahid
4.      ‘Ilal as-Shoghir karya Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi as-Sulamiy yang diterbitkan di Beirut oleh Dar Ihya at0turots al-‘Arabiy.
5.      ‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadis an-Nabawiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad bin Mahdi ad-Druquthni
6.      ‘Ilal li ibn Madani karya ‘Ali ibn Madaniy yang diterbitkan di Beirut oleh Maktabah al-Islamiy
7.      ‘Ilal al-Kabir at-Tirmidzi karya Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi yang diterbitkan di Beirut oleh Alim al-Kutub
8.      Al-Marasil li ibn Abi Hatim karya Ibn Abi Hatim ar-Razi yang diterbitkan pada tahun 1998 di Beirut oleh ar-Risalah
9.      Atsar ‘Ilal al Hadis fi Ikhtilaf al-Fuqaha
10.  ‘Ilal al-Hadis wa Ma’rifatu ar-Rijal wa at-Tarikh karya Imam ‘Ali bin Madaniy





[1] Al Razi, 2004, “Mukhtar al Shihah”, (Beirut: Dar al Kitab al Arabi)
[2] Ibn Mandzur, 1988, “Lisan al ‘Arab”, (Beirut: Dar al Jil)
[3] www.alukah.net diakses pada Senin, 25 September 2017
[4] www.fatwa.islamweb.net diakses pada Senin, 25 September 2017.
[5] Said Mujahid, 2016, “Tesis: Hadis tentang Peristiwa Fitnah Ifk (Perspektif Sunni dan Syi’ah)”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga)
[6] Dikutip dari Makalah Kajian Tarikh al Mutun tulisan Hamdi Putra Ahmad Mahasiswa PBSB 2015.
[7] Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal, (ttp: Muassasah al-Risalah, 2001) juz 4, hlm. 376
[8] Pendapat Imam syafi’i yang mengatakan bahwa hadits tentang pembolehan berbekam bagi orang yang berpuasa.
[9] N ur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), juz 1, hlm. 337
[10] Al-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Juz II (Mesir: Maktabah Al-Najah), hal. 266.
                [11]Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadis, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979) cet. 2, h. 337.
                [12]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 202.
                [13]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), h. 1143.
                [14]Dahlan, “Ilmu Musykil al-Hadits”.
                [15]Abdul Majid Khon, Takhrīj dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 195.
                [16]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009), h. 25.
                [17]Dahlan, “Ilmu Musykil al-Hadits”.
                [18]Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Isya al-Turats al-‘Arabiy, t.th.), no. 2021, h. 1419.
                [19]Dahlan, “Ilmu Musykil al-Hadits”.
                [20]Ibnu Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis..., h. 459.
                [21]Majid, Takhrīj dan Metode..., h. 196-197.
                [22]Mahmud al-Thahhan, Taisīr Mushthalah al-Hadis..., h. 57.
[23] Salamah Noorhidayati, M.Ag, Ilmu Mukhtalif al-Hadist, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016) hlm.62
[24] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta, 1987: Bulan Bintang), hlm.256.
[25] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, hlm. 257.
[26] Abdul Majid Khon, Takhrij Metode dan Memahami Hadis, (Jakarta: Paragonatama Jaya, 2014), hlm.132.
[27] Ibn Salah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972 M), hlm.82.
[28] Ibn Salah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972 M), hlm.82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Meniadakan "Time and Space" dalam Keluarga Rakhmad

Dewasa ini banyak orang yang memiliki semangat dalam menjalankan ajaran agama. Terutama dalam keluarga Rakhmad yang benar-benar mengama...