RESPON PAPER UAS
Nama : Hayatun
Thaibah (16551006)
Jurusan : Ilmu Hadis A
ASBAB AL WURUD HADIS
Disiplin
ilmu yang satu ini menurut Hasbi Ash-siddiqiey
mendefinisikannya dengan
عِلمُ يعرَف به أسباب
ورود الحديث و مناسباته
“ilmu yang menerangkan sebab-sebab datangnya
hadis dan beberapa hal-hal yang relevan dengannya”
1.
Dari pengertian diatas, untuk mengetahui cara mencari asbabbul wurud
tentunya memiliki dua cari yaitu hadis itu sendiri dan hadis yang lain. mengapa
harus dengan hadis yang lain? karena untuk mengetahui sebab-sebab datangnya
hadis akan lebih terlihat dengan meneliti hadis yang lain yang memiliki sebab
yang sama. Sebagai contoh hadis yang Sebab Hadits Lain
Ini
dapat ditemukan dalam hadits Nabi yang sulit dipahami oleh sementara sahabat,
sehingga melalui hadits lain Rasul menjelaskan atau menjawab kemusykilan itu. Seperti hadis yang
dikeluarkan oleh Anas bahwa
إن ملائكة تنطق على
ألسـنة بني ادٓم في المرء من الخير والشر
“Allah mempunyai
malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak cucu Adam tentang
apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang”
Hadits yang bentuk redaksinya seperti ini
sangat sulit dipahami, oleh sebab itu muncullah hadits lain yang menjelaskan
kemusykilan itu yaitu dari Anas:
عن أنس أنه صلى ﷲ عليه وسلم لما مر بجنازة فاثٔنوا عليها
خيرا فقال: وجبت وجبت وجبت. ومر باخٔرى فاثٔنوا عليها شرا فقال: وجبت وجبت وجبت.
“Tatkala ada
prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para sahabat yang ada waktu itu
memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Rasulpun berkata: ya, mesti
demikian, ya, mesti demikian, ya, mesti demikian”. Lalu lewat pula jenazah yang
lain dan para sahabat membicarakan kejelekan jenazah itu. Rasulpun kemudian
berkata: “ya, mesti demikian, ya, mesti demikian, ya, mesti demikian”.
Mendengar Rasul
seperti itu, para sahabat bertanya: “ya Rasulullah, apa makna dari ucapanmu
tadi”, maka Rasulpun menjawab: “Memang benar ya Abu Bakar, sesungguhnya Allah
mempunyai malaikat-malaikat yang berbicara tentang kebaikan dan keburukan
seseorang melalui lisan anak-cucu Adam”.
Demikian fungsi dari asbabul wurud untuk mencari hadis lain yang
berkaitan. Karena untuk memahami teks diperlukan hadis-hadis yang lain untuk
sama-sama diteliti sebab-sebab datangnya sebuah hadis.
Literatur
1.
Asbabu Wurud al-Hadis karya
Abu Hafs al-Ukbari (w.339 H)
2.
Asbabu Wurud al-Hadis
karya Abu Hamid Abdul Jalil al-Jabari
3.
Asbabu Wurud al-Hadis
atau yang disebut juga al-Luma’ fi asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin
Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh yahya Ismail Ahmad
4.
Al-Bayan wa at-Ta;rif
karya Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimasyqi (w.1110
H).
5.
Asbab Wurud alHadits (Proses Lahirnya Sebuah Hadits) karya As Syuyuthi
6.
Al Wasith fi ‘Ulum wa Mushthalah al Hadis, karya Muhammad Abu Syuhbah
7.
Sejarah
Ilmu Hadis karya Hasbi As Shiddiqy
8.
Asbabul
Wurud Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual karya Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim
9.
Fii
Ulum Al Hadis Karya Nuruddin ‘Atar
10. Takhrij dan Metode
memahami hadis karya Abdul Majid Khon.
ILMU TAWARIKH AL MUTUN
Ilmu
tawarikh al Mutun merupakan ilmu yang membahas tentang sejarah matan hadis
nabi. Ditinjau dari aspek kebahasaannya, kata Ilmu Tawarikh al Mutun terdiri
dari tiga kata yang berbeda maknanya, yaitu Ilmu, al Tawarikh dan al
Mutun. Kata Ilmu berarti pengetahuan, sedangkan Tawarikh merupakan
bentuk plural dari kata Tarikh yang secara etimologinya berarti sejarah.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai asal dari kata Tawarikh atau Tarikh
tersebut. Seperti pendapat sejalan yang dikemukakan oleh Syaikh al Razi[1]
dan Ibnu Mandzur[2]
dalam masing-masing kitabnya, mengatakan bahwa Tawarikh atau Tarikh adalah تعريف الوقت (mengenal atau mengetahui waktu dan kejadian). Sedangkan secara
terminologi menurtu bahasa Yunani berarti Istoria yang berarti
pembahasan terhadap sesuatu sesuai dengan kelayakan atau ketentuan umum untuk
mengetahui kisah hidup seseorang, asal usul suatu daerah, berdiri atau
merdekanya suatu bangsa, dan lain sebagainya.[3]
Selanjutnya kata al Mutun juga merupakan bentuk plural dari kata al
Matan secara bahasa yang berarti menampakkan sesuatu atau terus terang.[4]
Jika dikaitkan dengan konteks Ilmu Hadis, maka matan berarti redaksi suatu
hadis yang menjadi salah satu pusat penelitian dan pendukung pengertiannya.[5]
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan secara etimologi bahwa Ilmu
Tawarikh al Mutun merupakan ilmu yang membahas sejarah sebuah matan hadis.
Kata-kata yang digarisbawahi merupakan ciri-ciri sejarah datangnya
matan hadis, baik hadis fi’li maupun hadis qauli.
1.
Hadis yang
menggunakan Ungkapan Pertama Kali
2.
Hadis yang
Menggunakan ungkapan Terjadinya Sesuatu Sebelum Sesuatu
3.
Hadis yang
Menggunakan Ungkapan Sesudah Sesuatu
4.
Hadis yang
menggunakan Ungkapan Akhir dari Dua Perkara
5.
Hadis yang
Menggunakan Ungkapan Terjadinya Sesuatu pada Bulan Tertentu
6.
Hadis yang
Menggunakan Ungkapan Tahun Tertentu
Problem yang sering dijumpai adalah sulitnya membedakan antara Ilmu
Tarikh Mutun dengan Asbab al Wurud, dan Nasikh Mansukh dari Segi Defenisi
Masing-Masingnya. Kebanyakan merasa kebingungan untuk membedakannya.
1)
Contoh
Problematika Ilmu Tarikh al Mutun: Hukum Bekam bagi
Orang yang Berpuasa[6]
Dalam sebuah hadits mengenai pengobatan dengan bekam,
Rasulullah SAW menerangkan bahwa seseorang yang berpuasa, lalu meminta untuk
dibekam dan melakukannya, maka puasa yang ia lakukan akan menjadi batal.
Haditsnya adalah sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
" أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah
S AW bersabda: “Telah batal puasa orang yang membekam dan
yang dibekam”. (H.R.
Ahmad, juz 14, hlm. 373, no. 8768)
Imam Ahmad berkomentar di dalam bukunya bahwa hadits ini
merupakan riwayat yang sahih. Bahkan telah banyak kalangan ulama yang mengakui
kesahihannya. Akan tetapi, hukum yang terdapat di dalam hadits ini telah
dinasakh oleh Nabi sendiri.[7] Hal itu
dikarenakan terdapat hadits lain yang dari segi isi (matn)-nya
bertentangan dengan hadits di atas, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Nasa’i sebagai berikut:
عن أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: «رَخَّصَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ
وَرَخَّصَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ»
Dari Abi Sa’id, dia berkata, “Nabi SAW
memberi keringanan (memperbolehkan) berciuman bagi orang yang berpuasa, juga
memperbolehkan berbekam bagi orang yang berpuasa.” (H.R. al-Nasa’i, juz 3, hlm. 345, no. 3224)
Imam al-Syafi’i[8]
menerangkan bahwa hadits di atas menjadi nasikh (pengganti) bagi hadits
yang sebelumnya. Dan hal itu telah terbukti dengan sangat jelas berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Syidad, bahwa suatu ketika di masa pembebasan
kota Makkah (fathu Makkah) ia pernah bersama dengan Nabi. Saat itu Nabi
melihat ada seseorang yang sedang berbekam, padahal ia sedang berpuasa. Maka
beliau bersabda: “Telah
batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam”. Padahal dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dinyatakan bahwa: “Rasulullah SAW pernah berbekam
padahal ia dalam keadaan berpuasa.” Maka jelaslah bahwa riwayat yang pertama
itu telah dinasakh oleh riwayat yang kedua, karena riwayat yang pertama itu
terjadi pada masa fath Makkah (yaitu pada tahun ke-8 Hijriyyah),
sedangkan hadits yang kedua muncul saat peristiwa haji wada’ (yaitu pada tahun
ke-10 Hijriyyah).[9]
Literatur
1.
Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits karya Nur al-Din
2.
Musnad
al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal karya Ahmad Ibnu Hanbal
3.
Mukhtar
al Shihah karya Al Razi
4.
Lisan
al ‘Arab karya Ibnu Mandzur
5.
Takhrij dan Metode Memahami Hadis karya Abdul Majid Khon
6.
Ikhtisar Musthalahul Hadis karya Drs. Fatchur Rahman
7.
Muqaddimah Ibn as-Shalah wa Mahasin al-Isthilah karya Ibn As-Shalah dan al-Bulqini,
ILMU GHARIB AL-HADIS
عِلْمٌ
يُعَرِّفُ بِهِ وَقَعَ فِي مَتْنِ الحَدِيْثِ منْ لَفْظِهِ غَامِضَةٍ بَعِيْدَةِ
مِنَ الفَهْمِ لِقِلَّةِ اسْتِعْماَلِهاَ
Ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang terjadi pada matan hadis
dari lafaz yang samar dan sulit dipahami karena tidak banyak penggunaannya.[10]
Melihat dari pengertiannya gharib adalah kata-kata yang
asing yang terdapat pada matan hadis. Keasingan itu terjadi karena tidak banyak
dipakai oleh orang arab dan lemahnya kemampuan dalam memahami bahasa arab. Oleh sebab itu penting
untuk mempelajari Ilmu Gharib al hadis untuk mengetahui makna kata asing pada teks hadis . sehingga dalam
penyampaian arti tidak keliru serta
dapat diamalkan sebagaimana hadis maqbul.
Dalam
memahami hadis gharib pada matan ada beberapa metode, yaitu:
1.
Menggunakan
hadis lain yang bertema sama
2.
Menggunakan
Penjelasan Sahabat
3.
Menggunakan
Penjalasan Periwayat atau Selain Sahabat
Biasanya
hadis gharib terjadi pada hadis-hadis mustsyabihat, maka dalma menyelesaikannya
dengan beberapa metode:
a.
Metode Makna Hakikat
metode ini banyak digunakan oleh mayoritas ulama salaf.
Mereka mengartikan hadis-hadis mutasyabihat dengan apa adanya. Seperti yadullah
diartikan tangan Allah. Allah mempunyai tanga yang tidak sama dengan tangan manusia.
b. metode Makna Majazi
metode ini
banyak dipakai oleh ulama khalaf. Mereka memberikan interpretasi yang layak
bagi Allah unutk menyelamatkan akidah masyarakat awam agar tidak beranggapan
bahwa Allah mempunyai tangan yang menyerupai makhlukNya. Hadis tentang sifat
Allah Swt yang menyerupai sifat makhluk-nya diberikan interpretasi yang sesuai
dengan kaidah kebahasan. Misalnya, tangan Allah diartikan kekuasaan-Nya karena
timbulnya kekuasaan pada umumnya dari tangan (majas mursal).
Contoh hadis Mutasyabihat
عن ابي موسى عن النبي صلى الله عليه و سلم قال إنّ الله عز و جلّ يبسط يده
بالليل ليتوب مسيء النهار و يبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل حتي تطلع الشمس من
مغربها
Dari Abu Musa dari Nabi Saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah membentangkan
tangan-Nya pada malam hari untuk memnerima tobat orang yang berbuat buruk pada
siang hari dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat
orang berbuat buruk pada malam hari hingga terbit matahari dari barat.” (HR. Muslim)
Literatur
1.
Al-Fa’iq
fi Gharib al-Hadis karya Abu al-Qosim Jarullah Mahmud
bin Umar Al-Zamakhsyari
2.
Al-Nihayah
fi Gharib al-Hadis wa al-Asar karya Majduddin Abi
al-Sa’adah Al-Mubarak bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jaza’iri
3.
al-Durr
al-Natsir Talkhish Nihayah Ibn al-Atsir karya As
Syuyuthi
4.
Tafsir
Gharib ma fi al-Shahihain al-Bukhari wa Muslim karya
. Muhammad bin Abi Nashr Futuh bin
Abdillah bin Humaid bin Yashil Al-Azdi Al-Humaidi
5.
al-Nihayah
fi Gharib al-Hadis wa Al-Atsar karya Abu al-Sa’adah
al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari
6.
, Gharib
al-Hadis, karya Abdullah bin Muslamin bin Qutaibah al-Danuri
7.
al-Hadis
wa al-Muhaddisun: Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi as-sunnah an-Nabawiyah karyaMuhammad Abu Zahrah
8.
Tadrib
ar-Rawi fii Syarh Taqri an-Nawawi karya Jalaluddin As
Syuyuthi
9.
Tadwin
as-Sunnah an-Nabawiyah; Nasy’Atuhu wa Tathawwaruhu min al-Qarni al-awwal ila
Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri karya Az Zahrani
10. Manhaj an-Naqd fii Ulum al-Hadis karya Nuruddin
‘Ilmu Musykil wa Mukhtalif al-Hadis
Ilmu
musykil merupakan disiplin ilmu yang mengkaji hadis-hadis yang secara zahir
bertentangan dengan al-Qur’an,
fakta sejarah, fakta ilmiyah. Sedangkan ilmu Mukhtalif adalah disiplin ilmu
yang mengkaji hadis-hadis yang secara zhahir bertentangan dengan hadis yang
lain. jadi, ilmu Musykil dan Mukhtalif merupakan disiplin ilmu yan berbeda
namun sering disamakan menurut Achmad Dahlan. Beliau memberikan pengertian
keduanya dengan redaksi berikut:
Hadis yang secara
zahir bertentangan dengan kaidah-kaidah, maka hadis tersebut dirasa batil, atau
hadis yang bertentangan dengan nash syar’i (al-Qur'an atau hadis) yang lainnya.
Padahal jika diteliti lebih mendalam ada
perbedaan mengenai keduanya. Banyak ulama membedakan tentang dua pengertian
tersebut. Seperti menyangkut asal kata dan terminologi. Secara
bahasa, kata al-musykil berasal dari kata “syakala” yang berarti
(perkara) yang samar, yang susah.[12]
Dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Muhdlor mengartikan kata syakala dengan iltabasa yang berarti
tumpang tindih, campur aduk, atau tidak jelas.[13]
Secara terminologi, Dr. Fathuddin al-Bayanuni sebagaimana yang dikutip oleh Achmad
Dahlan mendefinisikannya sebagai: “Hadis-hadis shahih yang secara zahir
bertentangan dengan dalil lain (al-Qur'an dan al-Sunnah), atau kaidah syara’
dan akal, atau sejarah dan fakta ilmiah”.[14]
Sedangkan Muhktalif Sedangkan pengertian mukhtalif, secara bahasa,
merupakan kata kerja (ism fā‘il) dari kata ikhtalafa yang berarti
kontradiktif atau berlawanan.[15]
Maksudnya, mukhtalif al-hadis adalah hadis-hadis yang secara tersurat
memiliki makna yang bertentangan satu sama lain. Sedangkan secara istilah
Imam Nawawi mendefinisikan mukhtalif al-hadis dengan redaksi berikut:
مختلف الحديث هو أن يأتي حديثان متضادان فى المعني ظاهرا فيوفق بينهما أو
يرجح أحدهما
Mukhtalif al-hadis adalah adanya dua hadis
yang bertentangan maknanya secara zahir, kemudian dikompromikan antara keduanya
atau ditarjīh salah satunya.[16]
Dapat disimpulkan bahwa hadis
Musykil dan hadis Mukhtalif berbeda dalam segi pertentangannnya, hadis Musykil dengan Al-Qur’an, fakta sejarah dan
lain-lain sedangkan hadis Mukhtalif dengan hadis yang lainnya.
Adapun hadis bisa dikategorikan
sebagai hadis musykil jika mengenai keadaan sebagai berikut: hadis shahih,
secara zhahir tidak jelas, hal yang mustahil, bertentangan dengan (kaidah,
akal, nash lain, fakta ilmiah, fakta sejarah .[17]
Salah satu contoh hadis musykil
adalah larangan Nabi untuk makan menggunakan tangan kiri, karena setan makan
dengan tangan kiri. Beliau bersabda:
Sepintas hadis ini bertentangan
dengan akal sebab setan bersifat roh, lalu bagaimana cara makan dan minum. Abu Muhammad menjelaskan bahwa Allah
menciptakan sesuatu dengan kebalikannya sebagaimana sifat buruk yang
disandarkan dengan setan .[19] Dalam
hadis ini terkandung makna haqiqi (setan seperti manusia) dan ta’wil (memakan sesuatu yang dikehendaki dan disenangi setan) .[20]
Sedangkan hadis Mukhtalif mengenai hadis yang
kontradiktif (secara zhahir, pada hadis yang shahih atau hasan) dan kemungkinan
kompromi .[21]
Hadis Mukhtalif bisa diselesaikan dengan 4 cara, Dalam Taisir Mushthalah
al-Hadis, Mahmud Thahhan menjelaskan bahwa metode penyelesaian hadis
mukhtalif dalam dilakukan dengan empat cara, yaitu: (1) melakukan kompromi, (2)
naskh al-hadis, (3) melakukan tarjih, dan (4) tawaqquf.[22]
Empat cara diatas secara berurutan
dari satu hingga empat, jka kompromi tidak dapat dilakukan maka nasakh menjadi
metode dalam penyelesaian hadis Mukhtalif sampai hadis tersebut tidak bisa
diselsaikan terpaksa mengambil metode terakhir yaitu tawaquf yakni mendiamkan.
Ada beberapa kitab yang membahas tentang
disiplin ilmu Musykil dan Mukhtalif sebagai berikut:
Literatur:
1. Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif
al-Hadis.
2. Hamzah Abdullah al Malibary dalam kitabnya Hadis
Ma’lul Qawaid wa Dhawaabit.
3. Mukhtalaf
dalam Taqrib.
4. Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis.
5. Abu al-Fadhil Zainuddin Abdurrahim dalam
kitabnya At-Taqyid wa al-Idhah Syarah
Muqaddimah Ibnu Shalah.
6. Ibrahim bin Musa bin Ayyub dalam kitabnya Asy-Syadza
al-Fayyah min Ulum ibnu Shalah Rahimahullah Ta’ala.
7. Imam Syafi’i dalam kitabya Ikhtilaf al-Hadis.
8. Iman Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm.
9. Abdul Malik Ghazali dalam kitabnya Aqliyyah Ahl
al-Hadis: Manhaj ‘Aqliy li Ibnu Qutaibah Al Daynury Fi Fiqh Mukhtalif al-Hadis.
10.
Pdf skripsi
oleh Aswar yang berjudul Metode Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadis (Telaah dalam
Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Ibu Qutaibah.
Ilmu Nasikh wa al-Mansukh fii al-Hadis
Dalam kitab ilmu mukhtalif al-Hadis karya Dr.Salamah
Noorhidayati, M.Ag, ilmu nasikh wa al-Mansukh dalam perspektif ilmu hadist dimaknai sebagai
berikut :
هو العلم الذي يبحث عن الاحاديث
المتعارضة التي لا يمكن التوفيق بينها من حيث الحكم
Yaitu ilmu yang membahas hadist-hadist yang
bertentangan dari segi hukumnya yang tidak mungkin untuk dikompromikan.
Dapat
disimpulkan bwa ilmu ini membatalkan atau menghapus dalil hukum syar’i yang
lama dengan adanya hukum dalil yang baru.
Tentu
dalam pembahasan kali ini akan menimbulkan berbagai pertanyaan bagaimana
mengetahui matan hadis tersebut di nasikh dan mansukh, berikut dengan:
a.
Penjelasan
rasulullah
b.
Melalui
perkataan sahabat
Akan tetapi,
yang menjadi pertimbangan bahwa nabi sering tidak menjelaskan secara
umum namun akan disimpulkan oleh para sahabat melaluii sejarah, melalui dalil
ijma’. Namun, dalam perihal ijma’, ulama tidak mengatakan bahwa hadis pertama
nasikh, akan tetapi mereka mengambil kesepakatan berdasarkan dalil yang kuat
tanpa menghapus yang pertama.
Adapun syarat-syarat Nasikh sebagai berikut:
Menurut
al-Hazimi menyebutkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
pemberlakuan nasikh, diantaranya :
a. Dalil mansukh datang lebih awal daripada
dalil nasikh
b. Dalil nasikh dan mansukh bukan dalil akad
dan dalil adat, melainkan dalil syar’i
c. Menurut sebagian ulama Dalil nasikh tidak
boleh lebih lemah dari dalil mansukh. Salah satunya al-Hazimi, ia
mengatakan bahwa hukum al-Quran tidak boleh di nasakh oleh hadis.
d. Contoh An-Naskh dan al-Mansukh
حديث بريدة قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبورفزوروها ونهيتكم عن لحوم اللأضاحى فوق ثلاث
فأمسكوا ما بدا لكم ونهيتكم عن النبيذ الا في سقاء فاشربوا في الأسقية كلها ولا
تشربوا مسكرا.
Dari
ibn Buraidah dari bapaknya ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “dahulu aku
melarang kalian untuk ziarah kubur maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku
melarang kalian untuk menyimpan daging hewan qurban lebih dari tiga hari, maka
sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian
membuat anggur selain dalam kirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat
air, asal jangan kamu minum yang memabukkan.[23]
Dari hadist di atas dapat kita lihat bahwasanya pada mulanya Rasulullah
saw. melarang umatnya untuk menziarahi kubur, kemudian pada hadist selanjutnya
nabi memerintahkan untuk menziarahi kubur. Di sini
terlihat bahwa dalil pertama terhapus oleh dalil kedua. Hal ini disebabkan
karena beberapa hal. Salah satunya karena perubahan perilaku masyarakat saat
itu. mulanya terlalu meratapi dan menjadikan kuburan sebagai tempat sakral
dalam peribadatan. Seiring berlalunya waktu, perilaku mereka mulai membaik dan mampu
mengontrol emosi sehingga tidak terlalu berlebihan lagi dalam meratapi, juga
dengan hadirnya islam mereka mulai
meninggalkan tempat-tempat yang mereka anggap “sakral” tersebut.
Literatur
1. Qatadah ibn Da’amah
as-Sadusi menulis kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
2. Abu Bakr Ahmad ibn
Muhammad al-Asram menulis kitab nasikh al-Hadist wa mansukhihi.
3. Abu Bakr Muhammad Ibn Musa
al-Hazimi menulis kitab al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukhi min al-Asaar.
4. Izzuddin Husai, Mukhtassar an-Naskh wa al-Mansukh fii hadist rasulillah.
5. Salamah Noor Hidayanti, Mukhtassar an-Naskh wa al-Mansukh fii hadis
rasulillah
6.
Abu Bakr Muhammad Ibn Musa al-Hazimi menulis kitab al-I’tibar fi
an-Nasikh wa al-Mansukhi min al-Asaar.
7.
Nasikh
al-Hadist wa mansukhihi ikarya imam Abi Bakr bin Muhammad bin Haani al-Atrom. Berjumlah 275 halaman pdf.
8.
Kitab al-I’tibar
fii bayani An-Nasikh wa al-Mansukh min al-Asar karya imam al-Hafidz
al-Bari’i al-‘Alamah Abi Bakr Muhammad bin Musa bin Usman bin Hazim al-Hamdani.
Berjumlah 256 halaman, pdf. Yang membahas tentang nasikh wa mansukh
hadist.
9.
Kitab
Manhaj al-Naqdi fi Ulum al-Hadist karya Dr. Nur al-Din A’tar dalam aplikasi
Maktabah Syamilah.
10. Kitab al-I’lam al-‘Alam ba’da Rushukhihi bi
an-Nasikh al-Hadist wa mansukhih dalam
aplikasi Maktabah Syamilah.
11. Kitab Taisir Mushtolah al-Hadist karya
Mahmud Tohan dalam pembahasan nasih wa mansukh.
KAIDAH KESHAHIHAH HADIS
Kaidah keshahihan matan meliputi mayor dan
minor. kaidah mayor berisi keterhindaran dari ‘illat dan syudzudz.
Sedangkan kaidah minor merupakan bentuk perincian dari kaidah mayor sebelumnya,
baik rincian dari keterhindaran dari ‘illat maupun syudzudz.
Salah satu contoh kaidah minor adalah tidak bertentangan dengan akal sehat dan
fakta sejarah
Kaidah
mayor meliputi dua hal terhindar dari syadz danTerhidar dari ‘illat
Dua hal tersebut untuk jelasnya yaitu ada beberapa jenis
yaitu:
1. Sisipan teks hadis
2. Pembalikkan teks hadis
3. Memiliki kualitas sama dan
tidak bisa diunggulkan salah satunya
4. Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi
al-matn)
Masing-masing dari empat tersebut
merupakan syadz dan illat yang menyebabkan hadis tersebut diragukan
keshahihannya kecuali dengan meneliti lebih mendalam matan hadis tersebut.
Ulama memiliki beberapa cara untuk
mengungkapkan ‘illat pada matan hadis yaitu dengan:
1. Mengumpulkan hadis
yang semakna serta mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui illat
yang terdapat di dalamnya. Jika seorang perawi bertentangan riwayatnya dengan
seorang perawi yang lebih tsiqah darinya, maka riwayat perawi tersebut
dinilai ma’lul.
2. Jika hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat dalam
catatannya (kitabnya), atau bahkan hadis yang diriwayatkannya itu ternyata
tidak terdapat dalam kitabnya, sehingga oleh karenanya riwayat yang
bertentangan tersebut dianggap ma’lul.
3. Melalui
penyeleksian seorang syaikh bahwa dia tidak pernah menerima hadis yang
diriwayatkannya itu sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.
4. Seorang perawi
tidak mendengar hadis dari gurunya secara langsung.
5. Hadis tersebut
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tsiqah.
6. Hadis yang telah
umum dikenal oleh sekelompok orang, namun kemudian datang seorang perawi yang
hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka kenal itu, maka hadis yang
dikemukakan itu dianggap memiliki cacat.
7. Adanya keraguan
bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah.
al-A‘zhami
meyakini bahwa kaedah kesahihan matan hadis telah ada sejak zaman
dahulut. metode ini tidak dapat digantikan oleh metode apapun, pemakaian metode
yang lain justru akan mengakibatkan kesalahan. Kaidah kesahihan matan hadis yang sudah ada
selama ini adalah metode muhaddithin mutaqaddimin dan muhaddithin
muta’akhkhirin. Metode muhaddithin mutaqaddimin meliputi metode muqaranah dan
mu‘aradah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi Saw terutama ‘Aishah r.a. dan
metode al-Taufiq yang dipelopori oleh Imam al-Syafi’i (w. 204 H.)
1. Metode Muqaranah
dan Mu‘aradhah
Tradisi kaedah kesahihan matan hadis di lingkungan sahabat, selain
menerapkan kaidah muqaranah (perbandingan) antar riwayat, juga menerapkan
kaidah mu‘aradah(pencocokkan konsep)
2. Metode al-Taufiq
Yang dimaksud dengan metode al-Taufiq di sini adalah metode
menyatukan antara beberapa dalil yang tampak bertentangan, baik dengan cara
al-jam‘u, al-naskh, al-tarjih atau al-tawaqquf.
3. Metode Kontra ‘Illat dan Syadz
Kaidah
keshahihan matan hadis tidak terpaku pada metode zaman klasik. Sekarang banyak
metode-metode baru yang berusaha mengungkapkan keshahhihan matan hadis seperti
pandangan Juynboll dengan metode common link. Common link adalah istilah untuk seorang
periwayat hadis yang mendengar suatu hadis dari seorang yang berwenang dan lalu
ia menyebarkannya kepada sejumlah murid yang kebanyakan mereka menyebarkannya
lagi kepada dua atau lebih muridnya
Langkah-langkah metode kaedah kesahihan matan menurut common link adalah sebagai berikut:
1.
Mencari matan yang sejalan (mempunyai tema yang sama);
2. Mengidentifikasi common link yang terdapat
pada matan yang sejalan.
3. Menentukan common link tertua. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui siapa tokoh common link tertua, yang dianggap paling
bertanggung jawab atas penyebaran suatu hadis.
4. Menentukan bagian teks yang sama dalam semua
hadis yang sejalan. Bagian teks yang sama itulah menurut Juynboll yang
benar-benar otentik.
.
Metode kedua Isnad-Cum-Matan
1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang
dilengkapi dengan sanad;
2.
Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi
periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah
periwayatan hadis mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan
harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya, yaitu
3.
Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun
susunan katanya. Langkah ini juga memungkinkan
untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari hadis yang dibicarakan;
4. Membandingkan hasil analisis isnad dan
matan.
Selanjutnya pendekatan dalam pengembangan
kshahhihan matan hadis ada beberapa hal
1. Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang
dilengkapi dengan sanad;
2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk
mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda. Dengan dua
langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan hadis mungkin
diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan harus dilanjutkan dengan
langkah selanjutnya, yaitu
3. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian
itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan
katanya. Langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang
sejarah periwayatan dari hadis yang dibicarakan;
4. Membandingkan hasil analisis isnad dan
matan.
Literatur
1.
Kitab
al-‘Ilal karya Ibn al-Madini
2.
‘Ilal
al-Hadis karya Ibn Abi Hatim
3.
Al-‘Ilal
wa Ma’rifah al-Rijal karya Ahmad bin Hanbal
4.
Al-‘Ilal
al-Kabir dan al-‘Ilal as-Shaghir karya
al-Tirmidzi
Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadits
an-Nabawiyyah karya al-Daruquthni
5. Metodologi Kritik Matan Hadis karya Shalahuddin Ibnu Ahmad Adhabi
6. Kesahihan Sanad dan Matan Hadis karya Nasir Akir
7. , Kaedah Kesahihan Matan Hadis: Studi
Komparatif Antara al-A’zhami dan G.H.A
Jaynboll karya Masrukhin Muhsin
8. al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi naql
al-‘Adl ‘an al-‘Adl karya
Muslim bin Hajjaj
9. Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang Riwayah bi
al-Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis karya Salamah Noor Hidayati
10. Taysir Musthalah al-Hadis karya Mahmud Thahan
11. Al-Jami’ al-Kabir/Sunan
Tirmidzi karya Muhammad bin
Isa Tirmidzi
Ilmu ‘Ilal Hadis
Ilal berarti ada penyakit yang terdapat pada
sanad dan matan. Pada pembahasan kali ini ilal terdapat pada matan hadis yang
juga mempengaruhi keshahihan suatu hadis.
Menurut istilah ahli
hadis, ‘illal adalah:
سبب
غامض يقدح في الحديث مع ظهور السلامة من
Sebab yang tersembunyi yang menyebabkan
tercecat hadis, padahal secara dlahir hadis itu selamat dari sebab tersebut. [24]
Menurut Ibn Shalah dan al-Nawawi, istilah ‘Illal dalam hadis dapat
diartikan sebagai sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.
Keberadaan ‘Illal dalam hadis dapat merubah kedudukan hadis, yang pada
lahiriahnya adalah shahih menjadi tidak shahih.
Para ulama sangat mementingkan ilmu ‘illal
al-hadis. Urgensinya telah dijelaskan oleh Abu Abdullah al-Hakim an-Naisaburi
dalam kitab ‘ilmu Illalul Hadis, yaitu:
“Ilmu yang berdiri sendiri selain shahih,
dla’if, jarh, dan ta’dil. Sesungguhnya dia menerangkan ‘illat pada hadis yang
tidak masuk kedalam kategori jarh, karena hadis majruh adalah hadis yang gugur
dan tidak terpakai. ’illat hadis banyak terdapat dalam hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh orang-orang dipercaya, yaitu orang yang menceritakan suatu
hadis yang sebenarnya mempunyai ‘ilat dan ‘illat itu tersembunyi bagi mereka.
Karena ‘illat tersebut, hadis itu menjadi hadis yang ma’lul. Hujjah dalam
menetapkan ‘illat-‘illat hadis ialah: hafalan yang sempurna,paham yang
mendalam, dan pengetahuan yang cukup.”[25]
Problematika yang terjadi pada ‘illal matan hadis
tidak termasuk pada jarh karena hadis majruh adalah hadis yang gugur dan tidak
terpakai. Sedangkan hadis ‘illat kebanyakan terdapat pada
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya. Sehingga untuk
mengetahui ‘illat pada hadis sangat sulit.
‘Illal pada matan. Contohnya: hadis
yang diriwayatkan oleh Ibrahim ibn Thohman, dari Hisyam bin Hasan, dari Abi
Hurairah dalam sabdanya Nabi saw:
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: ذَكَرَ أَبِي حَدِيثًا رَوَاهُ عَنْ حَفْصِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ النَّيْسَابُورِيِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ، عَنْ
هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
وَسُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ
فَلْيَغْسِلْ كَفَّيْهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يَجْعَلَهُمَا فِي الإِنَاءِ،
فَإِنَّهُ لا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ، ثُمَّ لِيَغْتَرِفْ بِيَمِينِهِ مِنْ
إِنَائِهِ، ثُمَّ لِيَصُبَّ عَلَى شِمَالِهِ فَلْيَغْسِلْ مَقْعَدَتَهُ ".
قَالَ أَبِي: يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ: " ثُمَّ لِيَغْتَرِفْ بِيَمِينِهِ
" إِلَى آخِرِ الْحَدِيثِ مِنْ كَلامِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ،
فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ يَصِلُ كَلامَهُ بِالْحَدِيثِ فَلا يُمَيِّزُهُ الْمُسْتَمِعُ
Untuk
mengetahui ‘illal hadis terlebih dahulu menelusuri dari berbagai buku induk
hadis dengan sanad yang lengkap. Setelah itu bandingkan antara satu dengan
lainnya. Dilihat pula perbedaan para periwayat, seperti
ke-dhabith-an dan keteguhan mereka. Jika ada cacat yang tersimpan, berarti
hadis mu’allal.[26]
Karena
penelitian ‘illah hadis yang disinggung oleh salah satu unsur kaidah keshahihan
sanad hadis itu sulit dilakukan, maka Ibn ak-Madini (w. 234 H/849 M) dan
al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti
‘illat hadis, maka langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah:
1. Seluruh sanad hadis
untuk matan yang semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan
memang memiliki mutabi’ ataupun syahid.
2. Seluruh periwayat dalam berbagai
sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah hadis.[27]
Karena penelitian ‘illah hadis
yang disinggung oleh salah satu unsur kaidah keshahihan sanad hadis itu sulit
dilakukan, maka Ibn ak-Madini (w. 234 H/849 M) dan al-Khatib al-Baghdadi (w.
463 H/1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti ‘illat hadis, maka
langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah:
1. Seluruh sanad hadis
untuk matan yang semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan
memang memiliki mutabi’ ataupun syahid.
2. Seluruh periwayat
dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah hadis.[28]
Literatur
1.
‘Ilal wa
ma’rifatu ar-Rijal karya Ahmad bin Muhammad bin Hambal
yang diterbitkan pada tahun 1408 H-1988 M di Beirut oleh Maktabah al-Islami.
2.
Ta’liqah
‘ala al-‘Ilal li ibn Abi Hatim karya Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdul Hadi al-Muqodasi
3.
‘Ilal
Ahadis fi Shohih Muslim karya Abu Fadl Muhammad bin
Abi Husein ibn Ammar asy-Syahid
4.
‘Ilal
as-Shoghir karya Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa
at-Tirmidzi as-Sulamiy yang diterbitkan di Beirut oleh Dar Ihya at0turots
al-‘Arabiy.
5.
‘Ilal
al-Waridah fi al-Ahadis an-Nabawiyah karya Abu
al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad bin Mahdi ad-Druquthni
6.
‘Ilal li ibn Madani karya ‘Ali ibn Madaniy yang diterbitkan di
Beirut oleh Maktabah al-Islamiy
7.
‘Ilal al-Kabir at-Tirmidzi karya Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi
yang diterbitkan di Beirut oleh Alim al-Kutub
8.
Al-Marasil li ibn Abi Hatim karya Ibn Abi Hatim ar-Razi yang
diterbitkan pada tahun 1998 di Beirut oleh ar-Risalah
9.
Atsar
‘Ilal al Hadis fi Ikhtilaf al-Fuqaha
10. ‘Ilal al-Hadis wa Ma’rifatu ar-Rijal wa
at-Tarikh karya Imam ‘Ali bin Madaniy
[1] Al Razi, 2004, “Mukhtar al Shihah”, (Beirut: Dar al Kitab al Arabi)
[2] Ibn Mandzur, 1988, “Lisan al ‘Arab”, (Beirut: Dar al Jil)
[3] www.alukah.net diakses pada Senin,
25 September 2017
[4] www.fatwa.islamweb.net
diakses pada Senin, 25 September 2017.
[5] Said Mujahid, 2016, “Tesis: Hadis tentang Peristiwa Fitnah Ifk
(Perspektif Sunni dan Syi’ah)”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga)
[6] Dikutip dari Makalah Kajian Tarikh al Mutun tulisan Hamdi Putra Ahmad
Mahasiswa PBSB 2015.
[7] Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibnu Hanbal, (ttp:
Muassasah al-Risalah, 2001) juz 4, hlm. 376
[8] Pendapat Imam syafi’i yang mengatakan bahwa hadits tentang
pembolehan berbekam bagi orang yang berpuasa.
[9] N ur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1997), juz 1, hlm. 337
[10] Al-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Juz II
(Mesir: Maktabah Al-Najah), hal. 266.
[23] Salamah Noorhidayati, M.Ag, Ilmu Mukhtalif al-Hadist,
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016) hlm.62
[24] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta,
1987: Bulan Bintang), hlm.256.
[25] Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, hlm. 257.
[26] Abdul Majid Khon, Takhrij Metode dan Memahami Hadis, (Jakarta:
Paragonatama Jaya, 2014), hlm.132.
[27] Ibn Salah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah,
1972 M), hlm.82.
[28] Ibn Salah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyah,
1972 M), hlm.82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar